Quantcast
Channel: YAKUZA1
Viewing all 285 articles
Browse latest View live

Ramzan Akhmadovich Kadyrov, Presiden Pecinta Shalawat dan Habaib

$
0
0

Ramzan Akhmadovich Kadyrov, Presiden Republik Chechnya saat ini adalah seorang negarawan sejati yang senantiasa mengikuti Sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam. Usianya baru 38 tahun tetapi pemikirannya sangat brilian. Kurang dari 10 tahun beliau memimpin Chechnya menjadi negara dengan tingkat pembangunan yang membuat takjub dunia. Negara yang sebelumnya hancur porak-poranda karena perang kini disulap menjadi negeri yang indah, bersih dan rapih.

Ayahnya, Akhmad Kadyrov adalah seorang ulama sekaligus Mufti Pejuang Chechnya pada masa perang, yang kemudian dilantik menjadi Presiden Republik Chechnya yang pertama, dua masa jabatan sebelum beliau. Keluarga Kadyrov adalah keluarga yang disegani oleh masyarakat Chechnya dan pemerintah Rusia.

Diantara keistimewaannya Presiden Ramzan adalah lisan beliau tidak pernah berhenti membaca shalawat dan memerintahkan kepada segenap aparatur pemerintah dan warganya untuk melazimkan shalawat. Beliau juga mewajibkan polisi dan tentaranya untuk shalat Shubuh dan Isya berjamaah di masjid. Jika shalat Jum’at tiba, beliau akan shalat di shaf ketiga, tidak mau maju ke depan karena hormat kepada para Habaib dan Ulama yang mengisi shaf pertama dan kedua.

Oleh: Sayyidil Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri Surakarta dengan beberapa tambahan/ FP Pesan Cinta Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri. Foto: Sayyidil Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri bersama Presiden Ramzan Akhmadovich Kadyrov.


Hadirilah Kajian Islam Rutinan Bersama Majelis Ar-Raudhah Solo

$
0
0

Kajian Islam rutinan Majelis Ar-Raudhah Solo setelah Ramadhan dan Idul Fitri 1436 H dimulai kembali. Kali ini Majelis Ar-Raudhah Solo menggelar kajian Islam rutin dengan tema baru yang lebih beragam seperti kajian Fiqih, Tasawuf, Hadits, Qur’an, Dzikir, Maulid dan Sholawat.

Berikut jadwal lengkap kegiatan rutin Majelis Ar-Raudhah Solo:

  1. Kajian Fiqih Tasawuf, setiap Senin, pukul 19.00 WIB, Ba’da Isya (shalat berjamaah), bersama Habib Muhammaad bin Husein bin Anis Al Habsyi.
  2. Kajian Khusus Nisa’ (Jamaah Putri), setiap Rabu, pukul 16.00 WIB (Bakda ‘Ashar), bersama Habib Novel bin Muhammad Alaydrus dan Nyai Sechah wal Afiyah.
  3. Kajian Kitab Arbain An Nawawiyah, setiap Rabu, pukul 19.00 WIB, Ba’da Isya (shalat berjamaah), bersama Habib Novel bin Muhammad Alaydrus.
  4. Kajian Tafsir Al Qur’an, setiap Kamis, pukul 06.00 WIB pagi, Ba’da Wirid Shubuh, bersama Habib Novel bin Muhammad Alaydrus.
  5. Shalat Tasbih dan Yasin Fadhilah, setiap Kamis Malam Jumat Kliwon, pukul 20.30 WIB, bersama Habib Husein bin Anis Al Habsyi.
  6. Kajian Kitab Al Hikam, setiap Jum’at, pukul 20.00 WIB, bersama Habib Novel bin Muhammad Alaydrus.
  7. Maulid Simtuduror, setiap Jumat malam Sabtu Kliwon, pukul 20.00 WIB, bersama Habib Husein bin Anis Al Habsyi.

Tempat: di Markas Besar Majelis Ilmu dan Dzikir Ar Raudhah, Jl Dewutan No.112 Semanggi, Pasar Kliwon, Solo (ketik di Google Maps: “Majelis Ar-Raudhah”)

Kajian Islam rutin Majelis Ar-Raudhah Surakarta juga disiarkan secara langsung melalui live video dan audio streaming:

  1. Aplikasi Android di Playstore “Majelis Ar Raudhah”
  2. Radio Al Hidayah FM 87.6 Solo dan sekitarnya, Radio NU 96.3 FM Magetan dan sekitarnya
  3. Radio Streaming: http://radio.ar-raudhah.info/
  4. Video Streaming: http://youtube.ar-raudhah.info/
  5. BB Streamimg: http://audio.aswajacenter.com:4818/;listen.mp3
  6. Winamp/ Iphone Streaming: http://audio.aswajacenter.com:4818/listen.pls
  7. Aplikasi Android “Radio Umat Islam” dan “Streaming Islam” Channel Majelis Ar Raudhah di Playstore.

Kajian Islam Rutin Majelis Ar-Raudhah Solo

Info Daurah Ilmiah Ahlussunnah Bersama Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyah Yaman

$
0
0

DAUROH ILMIYAH BERSAMA SYAIKH MUHAMMAD BA’ATHIYAH

Assalamu’alaikum wr. wb..

Para perindu kemuliaan, pecinta ilmu yang semoga dirahmati Allah SWT. Untuk menambah keilmuan kita dan mendapatkan keberkahan dari para Ulama-ulamanya Rasulillah SAW, mari ikuti !

Dauroh Ilmiyah bersama Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyah (Rektor Universitas Imam Syafi’i Mukalla, Hadramaut – Yaman) Selama 7 Hari / 17 s.d. 23 Agustus 2015 (Mukim), bertempat di LPD Al-Bahjah Cirebon.

Syarat pendaftaran: Laki – laki, dan mengerti bahasa Arab.

CP/ WA: Mafahim 085315082882 atau datang langsung ke Sekretariat: LPD Al-Bahjah, Jl. Pageran Cakrabuana No. 179 Blok Gudang Air, Sendang, Sumber, Cirebon, Jawa Barat.

NB: Batas Akhir Pendaftaran adalah pada 15 Agustus 2015 dan Peserta Terbatas! hanya untuk 30 orang.

Menghafal Qur’an Atau Mengaji Ilmu Agama, Mana yang Didahulukan untuk Anak?

$
0
0

Yang saya maksud dengan menghafal Al Quran adalah memfokuskan diri untuk menghafal, standar lamanya biasanya 2-3 tahun. Sedangkan maksud ngaji syareat adalah mengaji ilmu-ilmu agama beserta perangkatnya, seperti: tajwid dan bahasa arab, keduanya adalah paling basic sebagai modal awal baca quran dan baca kitab. Dilanjutkan dengan 3 basic: tauhid, fiqh, akhlak islamiyyah sebagai pondasi awal.

Tidak dipungkiri kedua hal diatas adalah sangat mulia. Diantara dua kemulian selalu ada yang lebih mulia. Kalo mengikut metode Nabi Saw, sesuatu yang paling afdhal dan mulia itu amalan yang paling mendesak dibutuhkan. Sebagai contoh: pendurhaka ortu, maka ia butuh untuk berbakti, suka molor sholat, maka ia butuh shalat pada waktunya dsb.

Ada 4 macam prioritas cita-cita orangtua pada anaknya (+ sekolah tentunya). Pertama: Jadi ahli syareat, kedua: jadi seorang Al hafiz, ketiga: jadi dua-duanya, keempat: Sekolah aja, ngejar karir. Namun yang sering penulis jumpai kebanyakan ingin jadi Al hafiz dulu daripada ahli syareat. Padahal, seorang anak itu fardhu ain (sangat mendesak) dibekali basic ilmu syaraet, adapun Al hafiz itu hukumnya fardhu kifayah yang dianjurkan saja.

Entah yaa, mungkin bisa memilki anak berlabel “Al-hafiz” dan dikenal orang lebih dirasa membanggakan daripada ahli syareat yang lebih dapat menyelamatkan hidup dunia-akhiratnya dimasa depan!!!

Pada dasarnya, seorang anak akan kesulitan menggabungkan antara menghafal Al Quran, belajar syareat dan sekolah. Karena masing-masing memilki beban yang sangat berat yang harus dipertahankan. Kemungkinannya: Menghafal + sekolah, atau belajar syareat + sekolah, tidak bisa dicampur tiga-tiganya. Bila dipaksakan, hasilnya tidak akan maksimal, entah hafalannya kocar-kacir, ilmu syareatnya prematur, atau nilai sekolah jeblok dan gak naik kelas.

Berikut ini adalah beberapa metode belajar menggabungkan diantara menghafal dan belajar + sekolah:

A. Menghafal –> Ngaji + sekolah
Metode ini cocok buat orang tua yang berambisi anaknya jadi seorang hafidz tulen. Kekurangannya, seorang anak akan dirasa telat dan sangat ‘ngoyo sekali’ belajar ilmu agama karena ia terbebani dengan mengulang hafalan dan pelajaran sekolah. Metode ini tidaklah tepat karena mendahulukan yang fardhu kifayah daripada fardhu ain.

B. Ngaji syareat –> Menghafal + sekolah
Adapun metode B, saya rasa cukup ideal karena mendahulukan yang primer daripada yang sekunder. Seorang anak tidak akan terlalu terbebani dengan pelajaran syareatnya setelah melewatinya. Bahkan ia akan merasa terbantu mengembangkan ilmu syareat dan menghafal Al Quran karena faham makna dan Al Quran itu sendiri adalah ilmu syareat.

C. “Menghafal” –> Ngaji syareat + Sekolah
Tanda kutip pada “menghafal” dimaksudkan bahwa seorang anak sejak kecil harus sudah dibiasakan mengenal cara baca Al Quran dengan baik & benar. Sehingga ketika masuk SMP ia sudah memilki 1 basic. Selanjutnya bisa ia manfaatkan menghafal juz amma, 29, 28 atau surat-surat penting dengan cara banyak mendengar murottal, tidak perlu fokus 30 juz dulu. Hal ini ia lakukan sebagai sambilan belajar ilmu syareat.

Ketika ia lulus SMA, baru memulai menyempurnakan hafalannya sampai 30 juz. Kalau kedua basic (hafal Al Quran dan ilmu syareat) pada umur 19-23 tahun sudah 60-70% dikuasai, untuk selanjutnya insyallah akan mudah berjalan bersama-sama untuk melancarkan hafalan dan mengembangkan ilmu agama sambil kuliah.

Ketiga hal diatas adalah metode-metode yang bisa dipilih sesuai selera orang tua. Opsi yang terakhir ini sangat ideal dan recomended banget kalau ortu ingin anaknya ahli syareat dan hafiz.

YANG PALING PENTING: Jangan sampai anak-anak kita hanya mengejar dan fokus kepada sekolah (dunia) tanpa dibekali pendidikan agama sama sekali. Melihat tantangan hidup di era globalisasi teknologi semakin membahayakan dan kehidupan moral semakin rusak, jauh dari akhlak islamiyyah.

Semoga bermanfaat dan silahkan menyempurnakan bila ada tambahan dan metode lain yang lebih jitu. Salam damai, cinta & persaudaraan

Oleh: Mochamad Ihsan Ufiq, Doha, 8 Agustus 2015/ Muslimedianews.

Habib Muhammad Husein Muthahar, Penyelamat Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih

$
0
0

HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2015, tinggal menghitung hari. Terkait HUT RI, ada satu hal yang menjadi momen “suci” bangsa Indonesia khususnya di saat detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, yakni pengibaran bendera pusaka Sang Saka Merah Putih oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau Paskibraka.

Sang Saka Merah Putih sebagai bendera pusaka ternyata mempunyai catatan sejarah yang cukup heroik sehingga harus diselamatkan dari penjajahan Belanda saat itu. Jika tidak, mungkin anak cucu keturunan bangsa Indonesia sekarang ini tidak dapat menyaksikan bendera pusaka sebagai salah satu bukti sejarah kemerdekaan Indonesia. Tahukah anda bahwa sang penyelamat bendera pusaka dari tangan penjajah saat itu adalah seorang habib, yang mempunyai darah pertalian keturunan dengan Sayyidina Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam?

Sayyidil Habib Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad Al-Muthahar, beliau lah sang penyelamat bendera pusaka Sang Saka Merah Putih dari tangan penjajah. Tanpa jasa beliau, bangsa Indonesia sekarang mungkin sudah tidak dapat melihat lagi bendera pusaka yang dijahit oleh istri Presiden Soekarno, Ibu Fatmawati. Saat itu, Presiden Soekarno menugaskan Habib Muhammad Husein Muthahar yang berpangkat Mayor untuk menjaga dan menyelamatkan bendera pusaka dari tangan penjajahan Belanda meski harus dengan mengorbankan nyawanya. Amanah “menjaga bendera pusaka dengan nyawa” ini pun berhasil dilaksanakan sang Habib dengan penuh perjuangan.

KH Achmad Chalwani Nawawi, pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo yang juga Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menuturkan bahwa Habib Muhammad Husein Muthahar yang merupakan penyelamat bendera pusaka ini adalah paman dari Habib Umar Muthohar Semarang.

Ingin tahu kisah sang Habib dalam menyelamatkan bendera pusaka? Berikut adalah kisah selengkapnya tentang penyelamatan bendera pusaka oleh Habib Muhammad Husein Muthahar ini yang mesti diketahui oleh bangsa Indonesia khsusunya umat Islam agar tahu bagaimana perjuangan para pendahulu bangsa ini dalam mempertahankan kemerdekan Republik Indonesia.

KISAH HEROIK PENYELAMATAN BENDERA PUSAKA OLEH HABIB MUHAMMAD HUSEIN MUTHAHAR

Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih adalah sebutan bagi bendera Indonesia yang pertama. Bendera Pusaka dibuat dan dijahit oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Bendera pusaka untuk pertama kali berkibar pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, setelah Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bendera dinaikkan pada tiang bambu oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang dipimpin oleh Kapten Latief Hendraningrat. Setelah dinaikkan, lagu “Indonesia Raya” kemudian dinyanyikan secara bersama-sama.

Pada tahun pertama Revolusi Nasional Indonesia, Bendera Pusaka dikibarkan siang dan malam. Pada 4 Januari 1946, karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua yang membuat Presiden, wakil presiden dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Di saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Presiden Soe­karno sempat memanggil salah satu ajudannya berpangkat Mayor yang bernama Sayyidil Habib Muhammad Husein Muthahar, yang kemudian ditugaskan untuk menyelamatkan sang bendera pusaka. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik” dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, Soe­karno berucap kepada Habib Husein Muthahar:

“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”

Di saat bom-bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota, Habib Husein Muthahar terdiam dan memejamkan matanya, berpikir dan berdoa. Amanah “menjaga bendera pusaka dengan nyawa” dirasakannya sebagai tanggungjawabnya yang sungguh berat. Setelah berpikir, Habib Husein Muthahar pun menemukan solusi pemecahan masalahnya. Sang Habib ini membagi bendera pusaka menjadi 2 bagian dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu. Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Oleh Habib Husein Muthahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Sang Habib hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang ada dalam pemikiran Habib Husein Muthahar saat itu hanyalah satu, yakni bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi ha­nya kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah.

Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presi­den Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. Habib Husein Muthahar dan beberapa staf kepresidenan juga akhirnya tertangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Habib Husein Muthahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.

Di Jakarta Habib Husein Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, Habib Husein Muthahar indekost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama). Selama di Jakarta Habib Husein Muthahar selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusa­ka kepada presiden Soekarno. Pada suatu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya.

Sore harinya, surat itu diambil oleh Habib Husein Muthahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat diba­wa ke Bangka. Soekarno sengaja tidak memerintahkan Habib Husein Muthahar sendiri datang ke Bang­ka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka. Itu tak lain karena dalam pengasingan, Soekarno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na­tions Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sedangkan Habib Husein Muthahar bukan.

Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Habib Husein Muthahar berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya. Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bendera pusaka diberikan Habib Husein Muthahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Presiden Soekarno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Soekarno dengan Habib Husein Muthahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan Soekarno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Habib Husein Muthahar. Sejak itu, Sang Habib tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka.

Habib Muhammad Husein Muthahar Sang Penyelamat Bendera PusakaTanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Pada 27 Desember 1949, naskah pengakuan kedaulatan lndo­nesia ditandatangani dan sehari setelah itu Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta. Dan untuk pertama kalinya setelah Prok­lamasi Kemerdekaan Indonesia, bendera pusaka Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950. Karena kerapuhan bendera pusaka, sejak tahun 1968, bendera yang dinaikkan di Istana Negara adalah replika yang terbuat dari sutra.

Pada tahun 1968, Habib Muhammad Husein Muthahar membentuk organisasi mahasiswa Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, atau Paskibraka (Bendera Pusaka Flag Hoisting Troop). Paskibraka inilah yang nantinya akan selalu bertugas sebagai pasukan pengibar bendera pusaka pada setiap upacara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia hingga sekarang. Selain membentuk Paskibraka, beliau pun menyusun tata cara pengibaran bendera pusaka. Atas jasanya ini, beliau mendapat julukan Bapak Paskibraka Indonesia.

SANG KOMPONIS LAGU INDONESIA YANG FENOMENAL, HARI MERDEKA, DAN HYMNE SYUKUR

Habib Muhammad Husein Muthahar tidak hanya dikenal sebagai penyelamat bendera pusaka dan pendiri Paskibraka saja tetapi beliau juga seorang komponis lagu Indonesia yang hebat. Habib yang dikenal dengan nama H. Mutahar ini telah menghasilkan ratusan lagu Indonesia, seperti lagu nasional Hari Merdeka, Hymne Syukur, Hymne Pramuka, Dirgayahu Indonesiaku, juga lagu anak-anak seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, dan lain-lain.

Lagu Hari Merdeka dan Hymne Syukur adalah salah satu lagu fenomenal yang diciptakan oleh Habib Muhammad Husein Muthahar. Terkait penciptaan lagu Hari Merdeka, ada satu cerita yang menarik. Ternyata inspirasi lagu Hari Merdeka ini muncul secara tiba-tiba saat beliau sedang berada di toilet salah satu hotel di Yogyakarta. Bagi seorang komponis, setiap inspirasi tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Beliau pun cepat-cepat meminta bantuan Pak Hoegeng Imam Santoso (Kapolri pada 1968 –1971). Saat itu Pak Hoegeng belum menjadi Kapolri. Sang Habib menyuruh Pak Hoegeng untuk mengambilkan kertas dan bolpoin. Berkat bantuan Pak Hoegeng, akhirnya jadilah sebuah lagu yang kemudian diberi judul “Hari Merdeka”. Sebuah lagu yang sangat fenomenal dan sangat terkenal yang banyak dinyanyikan oleh bangsa Indonesia, bahkan anak-anak pun sangat hafal dan pandai menyanyikannya.

Berikut lirik lagu Hari Merdeka ciptaan Habib Muhammad Husein Muthahar:

Hari Merdeka

Tujuh belas agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita

Selain “Hari Merdeka”, lagu berikut juga menjadi karya fenomenal beliau. Judulnya “Syukur”. Lagu ini tercipta setelah menyaksikan banyak warga Semarang, kota kelahirannya, bisa bertahan hidup dengan hanya memakan bekicot. Berikut lirik lagunya:

Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniamu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Kehadiratmu Tuhan

Dan masih banyak lagi karya fenomenal beliau yang lainnya.

Habib Muhammad Husein Muthahar meninggal dunia di Jakarta pada usia hampir 88 tahun, pada 9 Juni 2004 akibat sakit tua. Semestinya beliau berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dengan upacara kenegaraan sebagaimana penghargaan yang lazim diberikan kepada para pahlawan. Tetapi, beliau tidak menginginkan itu. Sesuai dengan wasiat beliau, pada 9 Juni 2004 beliau dimakamkan sebagai rakyat biasa di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta Selatan dengan tata cara Islam.

Allahu yarhamhu, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat (kasih sayang) kepada beliau, Sayyidil Habib Muhammad Husein Muthahar. Semoga jasa dan perjuangan beliau untuk Tanah Air Indonesia dibalas dengan surga dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga pula beliau tercatat sebagai pejuang yang syahid. Amin Ya Robbal ‘Alamin, Alfatihah….

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-70, JAYALAH NEGERIKU JAYALAH BANGSAKU
17 AGUSTUS 1945 – 17 AGUSTUS 2015

(Berbagai sumber)

Islam Nusantara Menurut Habib Abdullah bin Muhammad Baharun (Rektor Al-Ahqaff Yaman)

$
0
0

Pada hari Senin 17 Agustus 2015, Alhamdulillah guru kita yang mulia Al-Habib Abdullah bin Muhammad Baharun akhirnya sampai di pondok Mambaus Sholihin, Suci, Gresik. Walaupun pertemuan dengan beliau tidak terlalu lama akan tetapi hal itu cukup menghibur; karena sudah lama tidak berjumpa dengan beliau.

Dan Alhamdulillah di dalam pertemuan yang sebentar itu kita dapat menimba ilmu dari beliau. Mulai dari birrul masyayikh (pada pertemuan pertama); karena beliau melihat murid-murid serta alumnus Universitas Al-Ahqoff berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau, walaupun rumah secara rata-rata tergolong jauh dari Gresik, tempat beliau beristirahat. Kemudian pertemuan untuk keduanya dilaksanakan pada keesokan harinya, Selasa 18 Agustus 2015, sekitar jam 9.30 WIB. Dan pada pertemuan itu, saya sempat menyodorkan pertanyaan kepada beliau. Dan kurang lebih yang saya tanyakan adalah demikian:

Ya habib, apa pandangan jenengan tentang Islam Nusantara, apakah di dalamnya terdapat perpecahan umat Islam atau sebaliknya??

Beliau tentu saja sudah mendengar istilah ini, karena memang sebelumnya ada teman-teman yang bertanya kepada beliau dan tentunya beliau itu tidak telat Info; karena beliau memiliki perhatian khusus serta wawasan luas tentang Islam di Indonesia. Segala pemikiran-pemikiran di Indonesia, beliau mengetahuinya.

Sebenarnya beliau menjawab pertanyaan saya dengan panjang lebar. Tapi sayang, tidak semuanya saya ingat. Dan yang akan saya tulis, hanya yang tersisa di memori saya, dan mungkin pengutipannya dengan makna saja (tanpa merubah pendangan global beliau). Dan tak lupa akan saya cantumkan jawaban beliau terkait masalah ini. Yang saya ambil dari chat beliau dengan Habib Abdurrahman al-Musawa, alumnus Univ. Al-Ahqaaf, dan akan saya tuangkan dalam tulisan yang ke dua.

Jawaban beliau kurang lebih demian –kutipan ini tidak secara harfiyah tapi semakna dengan yang beliau sampaikan-:

“Pemikiran ini sudah saya dengar sebelumnya, dan pemikiran ini berbeda dengan berbedanya sudut pandang yang digunakan. Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan islam yang dibawa oleh wali singo, yaitu yang sesuai dengan adat-istiadat orang Jawa (maksudnya Indonesia secara umum; karena penggunaan lafal jawa digunakan untuk jawa dan sekitarnya/Nusantara). Tidak ada kekerasan, dan sikap kaku. Justru mereka menggunakan metode dakwah dengan kelembutan dan toleransi. Sehingga dimungkinkan untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan adat sekitar. Sehingga, dalam masa yang pendek, penduduk Jawa (Indonesia) mudah untuk menerimanya dan pada akhirnya mayoritas penduduk Indonesia masuk Islam tanpa ada keterpaksaan sedikitpun. Madzhab fiqh yang mereka anut adalah madzhab Syafii dan akidah Asyariyyah, serta thoriqoh Shufiyyah. Tak ada nilai-nilai kekerasan sedikitpun, justru sebaliknya. Seperti inilah yang dikembangkan dari generasi ke generasi. Diantara beberapa ulama Nusantara yang mengembangkan pemikiran seperti ini ialah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisyri Syamsuri , KH. Kholil Bangkalan dan lain sebagainya”.

“Jika Islam Nusantara ditafsirkan dengan penafsiran tersebut, maka oke tak ada yang dipermasalahkan. Kita setuju dengan pemikiran tersebut; karena seperti inilah yang kita temui di buku-buku sejarah ulama-ulama salaf sholih. Dan perlu diketahui bahwa dakwah tokoh-tokoh Hadramaut adalah dakwah yang bersih. Tidak ada niatan untuk mengumpulkan harta, apalagi menginginkan kekuasaan dan menjajah, apalagi mempengaruhi mereka dengan menyebarkan adat-adat yang tidak beres, tidak memaksa yang lain untuk masuk Islam.

Coba kita lihat, dakwah (baca : ekspansi) Belanda. Mereka telah menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya. Apa yang mereka tinggalkan ?? mereka tak meninggalkan apapun, tidak meninggalkan bahasa, pakaian, sekolah-sekolah ataupun memberikan kemajuan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Justru sebaliknya, mereka mengambil segalanya dari Indonesia, dari kekayaan dan harta Indonesia. Ditambah lagi dengan merampas buku-buku serta manuskrip-manuskrip yang telah ditulis oleh tokoh-tokoh Indonesia. Mereka tidak mau kawin atau mengawinkan dengan penduduk pribumi. Jika salah satu dari mereka ada yang kawin dengan penduduk pribumi mereka tidak segan-segan mengusir dari kalangan mereka dan menolak mereka dengan keras. Tidak mungkin bagi mereka untuk menerima dan berbaur dengan kehidupan orang Indonesia, tapi mereka hanya menganggap mereka hanya sebagai binatang yang ditunggangi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, tidak memandang mereka sebagai manusia. Dan bukti nyatanya ialah realita.

Jika kalangan tokoh Hadromaut, berbalik 180 derajat; karena mereka menikah dan menikahkan dengan pribumi. Saya sendiri (al-habib) menemui keluarganya (dari kabilah Jamalullail), berapa banyak dari mereka yang berkulit hitam; karena kakek-kakek mereka berdakwah dan menikah dengan penduduk Afrika. Dan aku temukan yang lainnya berkulit putih; karena mereka dakwah dan menikah dengan orang-orang Turki. Begitu pula sebagian yang lain wajahnya sama sekali tidak mirip dengan orang arab; karena mereka berdakwah dan menikah dengan orang Indonesia. Kenapa bisa demikian ?? karena mereka bisa berbias dengan orang Indonesia dan bisa memasuki adat-istidat mereka, mereka tidak memaksakan diri mereka untuk memasukkan adat-istiadat Hadramaut ke dalam lingkup Nusantara. Justru sebaliknya, mereka lah yang berbaur dengan adat istiadat Nusantara. Kenapa demikian ?? karena dengan itulah lebih bisa diterima. Terkadang sebagian bahasa Indonesia terpengaruh dengan bahasa Arab. Mereka menyebarkan adab, dan sopan santun dan bagaimana menghormati orang lain. dan inilah salah satu karakteristik dari dakwah-dakwah tokoh Hadramaut di Indonesia. Terlebih dengan wali songo, yang notabene leluhur mereka adalah dari asli Hadramaut bukan dari India ataupun Cina”.

“Namun jika para politisi memolitisir penafsiran Islam Nusantara maka itu adalah hal lain, dan memiliki keadaan yang lain. karena mereka berusaha merubah makna Islam Nusantara dari makna aslinya. Ambillah sebagian contoh seperti perkataan mereka: Islam Nusantara mengembangkan sikap toleransi beragama dengan agama-agama lain, yang dengan demikian boleh seorang muslim menikah dengan yang beragama budha, atau seorang wanita muslimah boleh menikah dengan pengikut agama budha (atas dasar Islam Nusantara), dan hal ini bisa dikiaskan dengan yang lainnya.

Jika mereka berpendapat dengan pendapat yang seperti ini atau mendekatinya, maka secara pasti kita menolaknya; karena mereka menjadikan Islam Nusantara sebagai tameng yang memberi perlindungan kepada pemikiran-pemikiran nyleneh mereka dan mendapat semua tujuan-tujuan mereka. Dan menjadikannya sebagai tembok yang menjadi tempat persembunyian mereka di belakangnya. Karena memang ada orang yang seperti ini. Jika mereka menyangkal kepada kita terkait penafsiran diatas (yang pertama versi ulama ahlussunnah). Maka kita katakan kepada mereka –seperti salah satu kisah ulama, kalau gak salah namanya Al-Jahidh ketika berduskusi dengan orang yahudi atau nashroni ketika melihat orang-orang muslim tidak menerima ajaran Yahudi dan Nashroni-: jika penafsiranmu atas Islam Nusantara sebagaimana penafsiran wali songo dan KH Hasyim Asyari atau yang lainnya dari kalangan ulama Indonesia masa itu baik dari segi akidah, fiqh ataupun thoriqoh maka kami pasti menerimanya. Jika tidak maka sama sekali kami menolak mentah-mentah penafsiranmu.

“Oleh karenanya wahai anak-anakku, jangan terkecoh dengan nama-nama, tapi lihatlah hakikat dan isinya. Jika sesuai dengan ajaran syariat maka terimalah, kalo tidak maka tolaklah.

Inti dari permasalahan ini bahwa Islam Nusantara memiliki nilai positif dan negatif.

Hal yang positif ialah agar kita ketahui bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang selayaknya harus diikuti dan ditiru oleh para muslim di Negara-negara lain; karena di dalamnya mengandung akhlak-akhlak yang lemah lembut, ungkapan yang indah, dan terdapat penerapan syariah yang sempurna. Tetapi kita tidak menutup-nutupi bahwa muslimin di Negara-negara lainnya juga demikian. Hanya saja di Indonesia memiliki nilai plus, begitu pula dengan yang lain, mereka juga memiliki nilai lebih. Kita yakin dan tau bahwa di Hadromaut terdapat adat-istiadat yang positif yang tidak ada di Indonesia. Begitu pula dengan sebaliknya, dan hal ini bisa dikiaskan kepada Negara-negara lain.

Maka sebaiknya, setiap muslim mengambil hal-hal yang positif dari Negara muslim yang lain; karena muslim satu dengan yang lainnya seperti bangungan kokoh yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Jangan sampai memecah persatuan Umat Islam di dunia. Ini adalah nilai positifnya.

Lima tahun sebelumnya saya memiliki proyek untuk membuat dauroh dengan kajian Islam di Indonesia dengan para kyai dan ulama di Indonesia, dan seharusnya mereka sebarkan dakwah ini ke negara-negara lainnya. Tapi kehendak-kehandak Allah memiliki kehendak lain.

Sementara sisi negatifnya ialah diantara mereka ada yang membanding-bandingkan bahwa Islam Nusantara itu lebih baik dari Islam Afrika, Amerika, dan Islam di Negara-negara lainnya. Kemudian berusaha unjuk gigi dengan merasa paling benar, dan ini merupakan sikap yang pasti salahnya; karena sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa para muslimun menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu dari mereka ada yang bersikap salah, benarin dong !!. Jangan sampai hanya menyalah-nyalahkan apalagi dengan merasa paling benar dan mengaku-ngaku hanya dirinyalah yang memiliki tongkat kebenaran, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat, dan inilah yang termasuk dalam kategori sombong yang telah Allah swt larang”.

“Terkadang mereka memvonis atas sesuatu yang terjadi di Negara-negara Arab dan menganggapnya sebagai bagian dari Islam, padahal sama sekali tidak termasuk dalam Islam sedikitpun, seperti fenomena takfir, membunuh para muslimin tanpa ada sebab yang diterima dan diakui oleh syariat yang sering kita temui di medsos, seperti ISIS.

Hal yang seperti ini sama sekali tidak bisa dimasukkan ke dalam ranah Islam. Bagaimana mereka bisa menilai bahwa ini adalah Islam versi Arab atau Timur tengah. Bahkan timur tengah sendiri sudah menjadi istilah yang popular di kalangan muslimin; karena istilah ini asal mulanya digunakan oleh Eropa Barat; karena letak goegrafi semenanjung Arab berada di timur tengah Eropa Barat, bukan untuk yang lainnya seperti Indonesia. Tapi sudah menjadi istilah yang popular mau bagaimana lagi ?.

Ujung-ujungnya, istilah ini (Islam Nusantara) bisa digunakan, tapi dengan penafsiran pertama yang telah disebutkan. Bukan dengan penafsiran yang dipelintir oleh politisi; karena yang demikian ini ditolak mentah-mentah dan merupakan penafsiran orang-orang berkepentingan.

Maka, semua hal terutama hal-hal yang di atas, harus kita nilai dengan pandangan syariat. Jika sesuai dengan isi kitab dan sunnah rasul maka betapa indahnya hal itu, jika tidak tinggal kita buang aja, jangan sampai kita tertipu dengan yang beginian, dan lihatlah inti dan isi dari hal-hal yang baru tersebut”.

يا سيدي، ما وجهة نظركم عن إسلام نوسانتارا، هل فيه تفريق للأمة الإسلامية أو توحيدها ؟؟

هذه الفكرة سمعت عنها قبل فترة، وأنّها تختلف باختلاف المفسرين. منهم من يفسرّها بأنّها الإسلام الذي جاء به الأولياء التسعة، وهو الذي يتناسب مع عادات أهل جاوة وأعرافهم، لا توجد فيه قسوة ولا جفاء ولا غلظة. بل فيه لين ورفق يمكن أن يتأقلموا معهم ويرفقوا بهم حتّى أسلموا تحت أيديهم عموما في فترة وجيزة متمسكين بمذهب الشافعي وعقيدة الأشعرية وطريقة الصوفية. لا يوجد فيه إكراه ولا تكفير ولا شدة ولا غلظة، بل بعكس ذلك كله. وقد تلَّقَوه هكذا سلفا عن سلف خلفا عن خلف. وهو الذي قام به العلماء الإندونسيون المتأخرون كأمثال الشيخ هاشم أشعري والشيخ بشري شنشوري والشيخ خليل بنكالان.

فإذا فسّر إسلام نوسنتارا بهذا التفسير، فهذا قُوَيْس لا إشكال فيه، ونحن موافقون مع هذه الفكرة؛ لأنّ هذا هو الواقع الذي وجدناه مسطورا في كتب سير السلف الصالحين. ومعلوم أنّ دعوة أهل حضموت أنظف الدعوات، لا فيها قصد جمع المال ولا فيها قصد الاستعمار ولا فيها تأثير العوائد الفاسدة ولا فيها إكراه الآخرين للدخول إلى الإسلام. لو نظرنا إلى دعوة الهولانديين، فقد استعمروا إندونسيا في مدة 350 سنة، ولكن ماذا تركوا ؟؟ ما تركوا شيئا، لا اللغة تركوا ولا اللباس ولا المدارس ولا النهوض إلى التقدّم، بل بعكس ذلك كله؛ فإنّهم أخذوا كل شيء ثروات وأموال البلاد وأضف إلى ذلك الكتب والمخطوطات التي كتبها أعيان أندونسيا وعلماؤها ما تركوها إلّا نزرا يسيرا، فهم لا يزوّجون ولا يتزّوجون مع أهل البلد، وإذا تزوّج أحدهم مع أهل البلد طردوه من قبيلتهم، ويرفضونه رفضا باتا. ومع ذلك فإنّ هولنديين لا يتأقلمون مع أهل جاوة بل استخفوا بهم، ويعتبرون كالبهائم التي تقاد لقضاء حوائجهم اليومية ولا يحترمونهم كالإنسان وشاهد ذلك هو الواقع. وأمّا علماء حضرموت بعكس ذلك تماما، فإنّهم تزوّجوا مع أهل البلد ويزوّجون فيما بينهم. فإنّي وجدت أهلي –من قبيلة جمال الليل- كم وكم وجدت أبناءهم سودا؛ لأنّ جدّهم يدعو ويتزوّج بأفريقية عندما كانوا يعملون الدعوة بها، ووجدتهم بيض اللون؛ لأنّهم دعوا وتزوّجوا بالأتراك، وكذلك وجدت فيهم ممن وجوههم لم تكن فيها ملامح عربية أصلا؛ لأنّهم كانوا يدعون ويتزوّجون مع أهل جاوة أو أهل الصين. لم كان هذا ؟؟ لأنّهم استطاعوا أن يتأقلموا معهم ويدخلون في أعرافهم ولغاتهم ويندرجون في عوائدهم، ولا يكلفون أنفسهم أن تتأثروا بدعوات أهل حضرموت، بل أهل حضرموت تتأثّر بعوائد وأعرافهم. لم كان ذلك ؟؟ لتكون الدعوة أقرب إلى القبول والاستجابة. وكانت بعض اللغات التي يتكلم بها أهل حضرموت اندرجت في لغات أهل جاوة، وينشرون الآداب والأخلاق وكيفية احترام الآخرين. فهذا ميزة من مزايا دعوات أهل حضرموت، وخاصة الأولياء التسعة فإنّ أصولهم حضارم لا الهنود ولا الصين.

لكن إذا قام السياسيون بتفسير إسلام نوسانتارا، فشيء آخر، وله حالة أخرى. فإنّهم حاولوا تغيير مفهوم معناه للوصول إلى أغراضهم. خذ من ذلك مثالا: فإنّ إسلام نوسانتارا قام بالتسامح مع الأديان الأخرى فيجوز من المسلم أن يتزوج من البوذية ويجوز للبوذي أن يتزوّج بالمسلمة، وعلى ذلك فقس. فإن كان قولهم كالذي ضربنا مثاله، فنحن قطعا لا نوافقه؛ لأنّهم جعلوا إسلام نوسانتارا حصنا يلجؤون إليه لتحقيق أغراضهم الفاسدة والحصول على مرامهم الكاسدة وحائطًا يتسترون به عن عيوبهم. لأنّ منهم من يقوم مقام هذا الأخير. فإذا اعترض علينا هذه الطائفة الأخيرة، فنقول لهم -كما في قصة أحد العلماء (لو لم تخن الذاكرة أنّ صاحب القصة هو الجاحظ) في معرض الردّ على اليهودي أو النصاري في عدم قبول المسلمين لدين اليهود والمسيحي (ثمّ ذكر قصّته)-: إن كان تفسيرك لإسلام نوسانتارا كما فسّره الأولياء التسعة والشيخ هاشم أشعري وغيرهم من علماء إندونسيا عقيدةً وفقهًا وطريقةً فنحن قبلناه، وإن لم يكن كما فسّروه فنحن قطع بردّ تفسيركم لإسلام نوسانتارا.

فلهذا يا أولادي، لا تغتروا بالمسميات، بل انظر إلى حقائقها فإن كان موافقا للشرع فاقبلوه وإلّا فردّوه.
والحاصل أنّ في إسلام نوسانتارا إيجابيات وسلبيات، والشيء الإيجابي هو لنعلم ونعرف أنّ الإسلام في إندونسيا هو الإسلام الذي ينبغي أن يقلده المسلمون في بقية البلدان لما فيه من لطف الأخلاق وجمال الأسلوب وتطبيق حقيقة الإسلام، ولكن لا نحجر الباقين أنّ فيهم كذلك إلّا أنّ في إندونسيا زيادة على غيرها، ولغيرها زيادة على إندونسيا. فنحن نعتقد أنّ في حضرموت عوائد حسنة لم تكن في إندونسيا، وفيها كذلك عوائد حسنة لم تكن في حضرموت، فقس على سائر البلدان الإسلامية. فكلّ أحد منهم يأخذ الأشياء الحسنة من الآخرين بعضهم البعض؛ لأنّ المسلمون بعضهم البعض كالبنيان يشدّ بعضهم البعض. فينبغي لكل المسلمين أن يقوم بهذا، ولا يسعى في تفريق الأمة الإسلامية. وكنت قبل خمس سنوات من الآن أنوي أن أعمل دورة علمية حول الإسلام في إندونسيا مع العلماء في ندونسيا، وهذه الفكرة غير بعيدة عن فكرة إسلام نوسانتارا إن لم تكن عينها وينبغي للإندونسيين أن ينشروا هذه الدعوة للمسلمين في البلدان، ولكن شاءت الأقدار أن تفعل ما تريد.
والشيء السلبي ممن قبل هذه الفكرة، هو أنّ منهم من قام بالموازنة بين إسلام نوسانتارا وإسلام أفريقيا وإسلام أمريكا والإسلام في البلدان الأخرى، ثمّ يسعى في الاستكبار على الآخرين فهذا خطأ؛ لأنّه كما قلنا: المسلمون يشدّ بعضهم بعضا، فإذا أخطأ أحدهم ينبغي أن يصوّبه آخرون. ولا يجوز أن يستخفّ بهم لا سيّما يستكبر عليهم ويدّعي أنّه هو الوحيد صاحب الحق الذي لا يشاركه غيره ويدّعي أنّ الآخرين هم أصحاب الأخطاء فينبغي أن يقلّدهم في كل الأمور حتى فيما تتعلق بالعوائد والأعراف. فهذا خطأ قطعا؛ فإنّ هذا من الاستكبار والتكبر الذي نهانا الله تعالى عنه.

وقد يحكمون على شيء في البلاد العربية، والإسلامُ براءٌ منه، كالتكفير وقتل المسلمين بغير سبب مقبول ومعتبر عند الشرع الذي طالما وجدناه في الأخبار كأمثال (داعش، ISIS)، فهذا لا ينسب إلى شيء من الإسلام، فكيف يحكمون أنّ هذا إسلام العرب أو ما يسمّون بإسلام الشرق الأوسط؛ و(الشرق الأوسط) صار اصطلاحا مشهورا فيما بين المسلمين؛ فإنّ هذا الاصطلاح في الأصل استعمله الغربيون من أهل أوربا فإنّ الجزيرة العربية جغرافيًا تقع في الشرق الأوسط بالنسبة لمن في الأوربا الغربية لا لغيرهم كإندونسيا مثلا، لكن صار هذا مصطلاحا شائعا فيما بين الناس.
في النهاية أنّ هذا الاصطلاح –أي إسلام نوسانتارا- يجوز أن يستخدم ولكن على التفسير الذي ذكرنا، سوى ما فسّره السياسيون؛ فإنّ هذا الثاني مرفوض قطعا وإنّها تفسير بالهوى والأغراض. فكل شيء لا سيّما مثل هذه الأسماء نعرضه على كتاب الله وسنة رسول الله، فإن وجدناه موافقا لما فيهما فبها ونعمت، وإلّا فاحكم ببطلانه، ولا تغترّوا بالمسميات وانظروا إلى الحقائق.

***

Inilah yang dapat saya tuliskan setelah memeras otak sampai habis isinya; karena waktu itu tidak bawa buku catatan atau merekam pengajian beliau dan sudah lewat dua hari dari muhadhoroh itu. Tetapi sebagai mana dalam pepatah arab yang berbunyi: “maa laa yudrok kulluh laa yutrok kulluh (suatu hal yang tidak bisa diambil semuanya, tidak bisa ditinggalkan semuanya)” yakni sebagian harus ada yang diambil. Terlebih ketika beliau dawuh waktu itu setelah muhadhoroh: “kamu jangan bergantung pada rekaman-rekaman seperti ini, tapi ukirlah di dalam hati-hati kalian. Karena yang demikian itu pengaruhnya lebih besar dari yang lain dan lebih langgeng”. Semoga kita semua termasuk golongan yang beliau sebutkan. Amiin.

Yang saya sebutkan adalah versi saya pada hari selasa, 18 Agustus 2015, 3 Dzul Qo’dah 1436 H.

***

(Dialihbahasakan oleh: Ustadz Abdul Aziz Jazuli Lc, Mahasiswa Dirosah ‘Ulya Univ. Al-Ahqaff Yaman, di Purwodadi, 5 Dzulqa’dah 1436 H).

KH Marzuki Mustamar: NKRI Harga Mati, NU Selalu di Hati

$
0
0

Indonesia Merdeka tidak lepas dari perjuangan para Ulama-ulama’ besar, dari deretan para Pahlawan hampir 90% itu termasuk Pahlawan Ulama’ seperti Sultan Hamidin Putera Syarif Hidayatullah, KH. Hasyim Asy’ari, Sunan Gunung Jati, Sultan Agung, (Pangeran) Diponegoro, Jendral Sudirman, KH. Wahab Hasbullah, Ahmad Nashir dan lain-lain. Beliau-beliau adalah Ulama’ besar yang telah berjuang dalam Kemerdekaan Republik Indonesia ini.

Tak lupa juga Bung Karno pun termasuk bagian dari Ulama’, perlu diketahui bahwa Bung Karno mendapatkan gelar 28 Doctor Kehormatan, dan satu diantaranya yaitu Doctor dibidang Ilmu Tauhid. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bung Karno bagian dari Ulama’ yang telah berjuang atas Kemerdekaan Indonesia.

Oleh karena itu, Umat Islam, Para Santri, Pengikut para Ulama’ Ahli Sunnah wal Jama’ah, mereka ikut wajib mempertahankan Sajadah Negara kita Republik Indonesia, karena Menjaga NKRI sama wajibnya dengan menjaga ajaran Syariat Islam khususnya Ajaran Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Bagi para ulama’ yang telah berjuang hingga dipanggil Allah SWT dan berguguran di medan perang, harga Kemerdekaan NKRI seharga dengan Nyawa dan Darah mereka. Karena perjuangan beliau-beliau para ulama’ hingga merdekanya negara kita ini, kita dapat berdakwah, manaqib, tahlil, melakukan syariat Islam dengan aman. Oleh karena itu, kita wajib menjaga Kemerdekaan Republik Indonesia. Wajibnya Menjaga NKRI sama dengan Wajibnya melaksanakan Syariat Islam.

Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai aset terbesar di Indonesia. Hal itu dapat kita buktikan bahwa para ulama’-ulama’ atau auliya’ terbanyak berada di Indonesia, masjid terbanyak bukan di Malaysia atau pun di Timur Tengah tetapi berada di Indonesia. Jumlah umat Islam terbesar pun di Indonesia sekitar 200 juta lebih umat Islam, Pondok Pesantren pun yang dimiliki oleh NU saja hampir 20.000 lebih, belum lagi lain-lainnya seperti Madrasah (MI, MTs, MA) yang dimiliki oleh Kemenag, NU, dan Muhamaddiyah sekisaran 30.000 lebih di seluruh Indonesia. Makam para ulama’, Walisongo juga berada di Indonesia, jama’ah haji paling banyak dan paling tertib pun dari Indonesia, dan masih banyak lagi aset Islam yang belum disebutkan. Jadi, aset terbesar itu harus dijaga oleh NKRI, Ingat!!! Bubarnya NKRI, terancamnya aset Islam. Maka dari itu, menjaga NKRI sama dengan wajibnya menjaga ataupun melaksanakan ajaran Syariat Islam.

Sesungguhnya kita semua itu tahu, bahwa kita bersujud di Indonesia, dilahirkan pun di Indonesia, kita mencari nafkah untuk keluarga pun di Indonesia, ngaji pun dari TPQ hingga Pesantren Kitab Kuning juga di Indonesia. Semua yang kita lakukan berada di Indonesia. Indonesia adalah Sajadah kita, Indonesia Diniyah kita, Indonesia Pesantren kita, Indonesia Masjid kita, Indonesia tempat Sujud kita. Jadi kita harus selalu Ingat, bahwa Membela Indonesia sama dengan wajibnya menjaga dan membela Masjid, Pesantren dan Madrasah.

Oleh karena itu, Para Ulama’ khususnya Ahli sunnah wal Jama’ah Nahdlotul Ulama’ dari dulu selalu berkomitmen bahwa NKRI Harga Mati, Membela NKRI hingga meninggal maka ia Mati Syahid. Sedangkan Menentang NKRI itu termasuk kaum-kaum Paratis.

Marilah kita para kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah, kaum Pesantren seperti para Ulama’-ulama’ kita terdahulu, Marilah kita berjuang untuk Indonesia Merdeka, Marilah kita berkomitmen Nawaitu untuk berjihad, berani mengorbankan Nyawa, Darah untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan begitu Simbolis kita, Komitmen kita, Aqidah kita untuk NKRI ini sama dengan yang dimiliki oleh beliau-beliau para Ulama’ Pejuang Bangsa Indonesia seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan juga para ulama’ lainnya. Maka jika kita mempunyai komitmen yang sama, Insya Allah nanti kita semua akan dikumpulkan bersama-sama para Ulama’-ulama’ atau para Auliya’ yang telah berjuang atas Kemerdekaan Republik Indonesia ini. Aamiin allahumma Aamiin.
NKRI Harga Mati dan NU Selalu di Hati.

VIDEO PENGIBARAN BENDERA NU PADA UPACARA 17 AGUSTUS 2015

 

Keterangan Video: Selain pengibaran bendera Merah Putih, upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2015 di Ponpes Sabilurrosyad Malang Jawa Timur, juga diwarnai pengibaran bendera Nahdlatul Ulama (NU) yang diiringi dengan sholawat, dan dipimpin langsung oleh pengasuh ponpes, Sang Singa Aswaja Indonesia, Almukarrom KH Marzuki Mustamar. Tampak dalam video ini, sang kiai selaku pemimpin upacara memakai seragam kebesarannya, berupa peci hitam, baju putih lengan panjang, bersarung hijau, dan bersandal, yang merupakan ciri khas seragam salafiyyah NU. Begitu juga dengan PaskibraNU (pasukan santri pengibar bendera NU) yang memakai seragam salafiyyah khas NU.

FOTO DOKUMENTASI UPACARA BENDERA 17 AGUSTUS 2015, PONPES SABILURROSYAD MALANG

KH Marzuki Mustamar

Upacara Bendera 17 Agustus

Kibaran Bendera Merah Putih

Pengibaran Bendera NU

Hormat Bendera

Upacara Bendera Santri

Upacara Bendera Santri

Upacara Bendera Ponpes Indonesia

(Kesimpulan mau’idhoh hasanah Abuya KH Marzuki Mustamar ketika Beliau menjadi Pembina Upacara Kemerdekaan 17 Agustus 2015 di PP. Sabilurrosyad Gasek Malang/ FP KH. Marzuki Mustamar).

Inilah Susunan Lengkap Pengurus PBNU Masa Khidmat 2015-2020

$
0
0

Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara resmi telah diumumkan pada Sabtu (22/8/2015) di lantai 8 Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta. Hadir dalam pengumuman resmi ini, Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin, Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj, Waketum PBNU, KH Slamet Effendy Yusuf, dan Sekjen PBNU, H A Helmy Faishal Zaini.

“Susunan pengurus resmi PBNU ini dibentuk berdasarkan keputusan formatur dengan berusaha memadukan tokoh-tokoh NU di berbagai daerah dan generasi muda, baik secara kultural maupun struktural,” ujar Kiai Said Aqil dihadapan para wartawan dari berbagai media.

Berikut susunan lengkap pengurus PBNU masa khidmat 2015-2020 yang terdiri dari Mustasyar (Dewan Penasehat), Pengurus Harian Syuriyah, A’wan (Dewan Pakar), dan Pengurus Harian Tanfidziyah.

SUSUNAN PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA MASA KHIDMAT 2015-2020

MUSTASYAR

K.H. Maemun Zubair
Dr. K.H. Ahmad Mustofa Bisri
K.H. Nawawi Abdul Jalil
K.H. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. K.H. M. Tholhah Hasan
K.H. Dimyati Rois
K.H. Makhtum Hannan
K.H. Muhtadi Dimyathi
AGH Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badruddin (NTB)
K.H. Zaenuddin Djazuli
K.H. Abdurrahman Musthafa (NTT)
K.H. M. Anwar Manshur
K.H. Habib Luthfi bin Yahya
K.H. Sya’roni Ahmadi
K.H. Ahmad Syatibi
K.H. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
K.H. Hasbullah Badawi
K.H. Hasyim Wahid
K.H. Thohir Syarqawi Pinrang
K.H. Hamdan Kholid
K.H. Saifuddin Amsir
K.H. Zubair Muntashor
K.H. Ahmad Basyir
K.H. Ahmad Shodiq
K.H. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA
Prof. Dr. H. Machasin, MA
K.H. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. H. Awang Faroeq Ishaq

PENGURUS HARIAN SYURIYAH

Rais Aam : Dr. K.H. Ma’ruf Amin
Wakil Rais Aam : K.H. Miftahul Akhyar

Rais : K.H. Mas Subadar
Rais : K.H. Masdar Farid Mas’udi, M.A.
Rais : K.H. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
Rais : K.H. AR Ibnu Ubaidillah Syatori
Rais : K.H. Dimyati Romli
Rais : K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus
Rais : K.H. Khalilurrahman
Rais : K.H. Syarifudin Abdul Ghani
Rais : K.H. Ali Akbar Marbun
Rais : K.H. Subhan Makmun
Rais : K.H. M. Mustofa Aqil Siroj
Rais : K.H. Cholil As’ad Samsul Arifin
Rais : K.H. Idris Hamid
Rais : K.H. Akhmad Said Asrori
Rais : K.H. Abdul Hakim
Rais : Dr. K.H. Zakki Mubarok
Rais : Prof. Dr. Maskuri Abdillah
Rais : K.H. Najib Abdul Qadir

Katib Aam : K.H. Yahya Cholil Staquf

Katib : K.H. Mujib Qulyubi
Katib : Drs. K.H. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si
Katib : Dr. K.H. Abdul Ghafur Maemun
Katib : K.H. Zulfa Mustahafa
Katib : Dr. H. Asrorun Niam Shaleh
Katib : K.H. Acep Adang Ruchiyat
Katib : K.H. Lukman Hakim Haris
Katib : K.H. Taufiqurrahman Yasin
Katib : K.H. Abdussalam Shohib
Katib : K.H. Zamzami Amin
Katib : Dr. H. Sa’dullah Affandy

A’WAN

K.H. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. K.H. Cholid Mawardi
K.H. TK Bagindo M Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
K.H. Mukhtar Royani
K.H. Abdullah Syarwani, S.H.
K.H. Eep Nuruddin, M.Pdi.
Drs. K.H. Nuruddin Abdurrahman, S.H.
K.H. Ulinnuha Arwani
K.H. Abdul Aziz Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. K.H. Hilmi Muhammadiyah, M.Si
K.H. Maulana Kamal Yusuf
K.H. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
K.H. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahmad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Ny. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, M.A.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, S.H., M.M.
Dr. Hj. Sri Mulyati

PENGURUS HARIAN TANFIDZIYAH

Ketua Umum : Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A.
Wakil Ketua Umum : Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.

Ketua

: Drs. H. Saifullah Yusuf
: Dr. H. Marsudi Syuhud
: Prof. Dr. M. Nuh, DEA
: Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
: Drs. K.H. Abbas Muin, Lc
: Drs. H. M. Imam Aziz
: Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd
: Dr. H. Muh. Salim Al-Jufri, M.Sos.I
: K.H. Hasib Wahab
: Dr. H. Hanief Saha Ghafur
: K.H. Abdul Manan Ghani
: K.H. Aizzuddin Abdurrahman, S.H.
: H. Nusron Wahid, S.E., M.SE
: Dr. H. Eman Suryaman
: Robikin Emhas, SH, M.H
: Ir. H. M. Iqbal Sullam
: H. M. Sulton Fatoni, M.Si.

Sekretaris Jenderal : Dr (HC). Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini

Wakil Sekretaris Jenderal

: H. Andi Najmi Fuaidi
: dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D
: Drs. H. Masduki Baidlowi
: Drs. H. Abdul Mun’im DZ
: Ishfah Abidal Aziz, SHI
: H. Imam Pituduh, SH., MH.
: Ir. Suwadi D. Pranoto
: H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum
: H. Muhammad Said Aqil
: Sultonul Huda, M.Si.
: Dr. Aqil Irham
: Heri Haryanto

Bendahara Umum : Dr.–Ing H. Bina Suhendra

Bendahara

: H. Abidin
: H. Bayu Priawan Joko Sutono, S.E., M.BM
: H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum.
: H. Nurhin
: H. Hafidz Taftazani
: Umarsyah HS
: N.M. Dipo Nusantara Pua Upa

(Fathoni/ NU Online/ Detik)


Download Logo Resmi NU Hasil Perubahan AD/ ART Muktamar ke-33 NU

$
0
0

Muktamar Ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 lalu, menghasilkan sejumlah perubahan pasal pada beberapa bab di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) Nahdlatul Ulama. Muktamirin di antaranya menyepakati penambahan unsur gambar dalam logo NU.

Pada AD/ART sebelumnya, pasal tentang logo tertulis bahwa lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas garis khatulistiwa yang terbesar di antaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah garis khatulistiwa, dengan tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.

Sementara pada perubahan hasil Muktamar Ke-33 NU, muktamirin menyisipkan kalimat/ huruf ‘N’ di bawah kiri dan ‘U’ di bawah kanan sebelum kalimat dan semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.

Hasil muktamar ini sekaligus meluruskan kekeliruan logo NU yang tersebar di masyarakat. Logo NU yang bertebaran ternyata memiliki beragam versi, selain bentuk huruf, perbedaan juga terletak pada warna latar dan tulisan. Bahkan, hingga kini masih dijumpai logo NU yang salah tulis.

Berdasarkan pantauan NU Online setidaknya ada tiga buku yang menggunakan logo NU secara keliru. Yakni, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan karya Nur Khalik Ridwan dan Dari Kiai NU ke NU Miring yang merupakan kumpulan tulisan dengan penyunting Binhad Nurrohmat. Keduanya adalah terbitan pertama Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2010.

Pada sampul kedua buku itu terpasang logo dengan tulisan mirip Nahdlatul Ulama. Namun jika diperhatikan, diketahui ada penambahan huruf alif pada penggalan kata akhir, sehingga lebih tepat dibaca ”nahdlatul u’-lama”.

Sementara buku yang terakhir, Dinamika NU Perjalanan Sosial dari Muktamar Cipasung (1994) ke Muktamar Kediri (1999). Buku terbitan Harian Kompas bekerja sama dengan Lakpesdam NU, 1999, ini memasang logo bertuliskan “nahdlatul ummah”. Secara isi, pembahasan ketiga buku tersebut memang bertema ke-NU-an.

Di dunia maya, logo sejenis juga bertebaran cukup banyak, baik di akun facebook maupun sejumlah blog pribadi dan komunitas NU. Dengan kata kunci ”logo nahdlatul ulama”, mesin pecarian google akan memunculkan logo keliru NU itu pada deretan keempat gambar teratas.

Para peselancar dunia maya sekarang bisa mengunduh logo resmi NU hasil perubahan Muktamar Ke-33 NU di situs Radio NU (radio.nu.or.id) pada kanal “Download” atau bisa mengunduh pada link yang tersedia di bawah ini:

DOWNLOAD GAMBAR LOGO RESMI NAHDLATUL ULAMA (NU) HASIL PERUBAHAN AD/ ART MUKTAMAR KE-33 NU DI SINI

ARCHIVE LOGO RESMI NU

(Cara Download: jika kesulitan mengunduh gambar logo NU, silahkan klik kanan pada link Donwlod kemudian pilih Save Target As… atau Save Link As…)

NU Online

Inilah Do’a Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari Untuk Nahdlatul Ulama (NU)

$
0
0

Pada 2009, seorang Kader Muda Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Alumnus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang bersama M Mansyur diutus oleh KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) untuk menemui KH Abdul Muchith Muzadi di kota Jember, Jawa Timur. Saat itu, Gus Sholah meminta kepada mereka untuk menggali kisah-kisah Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui Kiai Muchith yang merupakan santri langsung Hadratusy Syaikh.

Hasil dari wawancara eksklusif dua hari itu alhamdulillah menjadi sebuah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng. Di sela-sela mewawancarai Kiai Muchith, mereka berdiskusi panjang dengan Kiai Nur, kiai yang merupakan Alumnus Pondok Pesantren Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Dengan ketulusan hati, beliau mempersilakan mereka untuk menginap di rumahnya selama berada di Jember. Dan, sebuah kebetulan yang sangat luar biasa, di rumah beliau itu mereka menemukan sebuah dokumen yang sangat penting. Isinya adalah sebuah doa Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang dikhususkan untuk NU. Berikut adalah do’a tersebut:

DO’A HADRATUSY SYAIKH KH MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI UNTUK NAHDLATUL ULAMA

:دعاء حضرة الشيخ كياهي حاجي محمد هاشم أشعري رحمه الله
اَللّٰهُمَّ أَيْقِظْ قُلُوْبَ الْعُلَمَاءِ وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْ نَوْمِ غَفْلَتِهِمِ الْعَمِيْقِ وَاهْدِهِمْ إِلَى سَبِيْلِ الرَّشَادِ. اَللّٰهُمَّ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ أَحْيِ جَمْعِيَّتَنَا جَمْعِيَّةَ نَهْضَةِ الْعُلَمَاءِ حَيَاةً طَيِّبَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ بِبَرَكَةِ “فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً (النحل: ٩٧)”،فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِيْ إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ (ابراهيم: ٣٧)” وَارْزُقْهُمْ قُوَّةً غَالِبَةً عَلَى كُلِّ بَاطِلٍ وَظَالِمٍ وَفَاحِشٍ وَسُوْءٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
(٣x بعد المفروضة)
أجازنا الشيخ خطيب عمر، عن والده الشيخ عمر، عن الشيخ أسعد شمس العارفين، عن حضرة الشيخ محمد هاشم أشعري رحمهم الله

Bismillahirrochmanirrochim. Allohumma aiqizh qulubal ‘ulamai wal muslimina min naumi ghoflatihimil ‘amiq wahdihim ila sabilirrasyad. Allohumma ya Chayyu ya Qoyyum, ahyi jam’iyyatana Jam’iyyata Nahdlotil Ulamai chayatan thoyyibatan ila yaumil qiyamah bibarakati “Falanuhyiyannahu chayatan thayyibah”, “Faj’al af-idatan minannasi tahwi ilaihim warzuqhum minatssamarati la’allahum yasykurun”, Warzuqhum quwwatan ghalibatan ‘ala kulli bathilin wa zhalimin wa fachisyin wa su’un la’allahum yattaqun.

Artinya:

Ya Allah, bangunkanlah hati para ulama dan umat Islam dari kelalaian yang dalam dan berkepanjangan dan tuntunlah mereka ke jalan petunjukMu. Ya Allah, yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri, hidupkanlah Jam’iyah kami Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) dengan kehidupan thoyyibah (kehidupan yang baik sesuai kehendakMu) hingga hari Kiamat dengan berkah ayat:

فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً (النحل: ٩٧)، فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِيْ إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ (ابراهيم: ٣٧)1

(Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (Qur’an Surat An-Nahl:97). Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (Qur’an Surat Ibrahim: 37). Dan karuniakanlah mereka rizqi (berupa) kekuatan yang mengalahkan kebathilan, kedzaliman, ketidaksenonohan dan keburukan agar mereka bertaqwa“.

(M.Fakhrur Rozi dan Abdul Wakid, Gresik, Jawa Timur)

Ayo Bantu Muslim Papua Melalui PPM Aswaja Kerjasama Sarkub Peduli

$
0
0

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirobbil’alamin wa shollallohu ‘ala Sayyidina Muhammadin an-Nabiyyil Ummiy wa Alihith thohirin wa Shohabatihi ajma’in.

Mengutip Media Online Muslim besar di Indonesia, Muslimedianews.com, Rabu pagi (26/8/2015) terjadi kebakaran di Pondok Pesantren Modern Al-Muttaqin Buper Waena Papua, tepatnya yang terbakar adalah di komplek asrama santri putra. Sedikitnya sebanyak 45 santri kehilangan sejumlah perlengkapan belajar dan ibadah.

“Kebutuhan yang sangat mendesak yang diperlukan adalah seperti al-Quran, sepatu laki-laki, seragam sekolah SMP, tas sekolah, alat tulis, kasur, alat mandi dan baju koko. Kebutuhan lainnya adalah material gedung,” ujar pengurus pesantren kepada Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Papua, KH Tony Wanggai.

Persaudaraan Profesional Muslim Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (PPM Aswaja) membuka diri untuk menjadi pengumpul sumbangan dalam bentuk Dana. PPM Aswaja mempersilahkan para Dermawan, khususnya para Pejuang Aswaja, yang peduli dengan perjuangan dakwah Islam di Bumi Papua dan berkenan ikut membantu meringankan beban Pondok Pesantren Al-Mutaqqin Papua, untuk menyampaikan/ mengirimkan sumbangan ke Rekening PPM Aswaja atas nama Yayasan Dakwah Islam Aswaja, melalui Bank Mandiri dengan nomor rekening 070.00.0664.8054. Mohon menambahkan 99 di belakang nominal untuk memudahkan pemilahan sumbangan, misalnya Rp. 500.099.

Berikutnya sumbangan dilaporkan melalui media-media yang berafiliasi dengan PPM Aswaja secara regural, dan sumbangan akan kami kirimkan ke Ponpes Al-Mutaqqin Papua melalui Ustadz Abdul Wahab, Aktivis NU Papua dan Sarkub Peduli Papua.

Semoga sumbangan para Dermawan mendapat Ridho dari Allah Ta’ala dan tentunya InsyaAllah sangat bermanfaat buat recovery Ponpes Al-Mutaqqin terutama membantu para santri untuk terus beraktifitas. Amin Amin Allahuma Amin.

Wallahul muwafiq ila aqwamit Tharieq. Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Faham Asy’ari dan Maturidi Sebagai Faham yang Dianut Oleh Para Pakar Islam

$
0
0

Faham Asy’ari dan Maturidi merupakan faham yang dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Faham Asy’ari dan Maturidi sudah teruji kebenarannya dalam membentengi akidah kita seperti yang diajarkam Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.

Banyak sekali ulama yang menjadi penganut faham Asy’ari dan Maturidi, bahkan Al-Imam Abdullah Al-Haddad Tarim Yaman berkata dalam Nailul Marom halaman 8:

“Ketahuilah bahwa faham Asy’ari dalam kepercayaannya adalah faham yang dianut umat Islam serta para ulama adalah orang yang bernisbat kepada mereka yang mengikuti Thariqahnya orang-orang yang menjadi pakar ilmu sepanjang masa, yang mana mereka menjadi imam dalam ilmu tauhid, ilmu teologi, tafsir, qiro’ah, fiqh, ushul hadits, tashowwuf , bahasa dan sejarah”.

Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa faham ini merupakan faham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan dengan banyaknya tokoh besar Islam yang menganut faham ini menunjukkan bahwa umat Islam tak akan berkumpul dalam kesesatan.

Berikut ini diantara nama-nama tokoh besar Islam yang menganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengikuti manhaj Al-Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Al-Imam Abu Mansur Al-Maturidi.

Tokoh Bidang Tafsir beserta karangan kitabnya.

  1. Al Allamah Al mufassir Al Imam Qurtubi (pengarang kitab Al Jami Liahkamil Qur’an)
  2. Al Allamah Al mufassir Al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir (Tafsir Adzim, Bidayah Wa Nihayah, tafsir Ibnu Katsir)
  3. Al Allamah Al mufassir Al Imam Ibin Athiyah Al Andalusi ( Muharror Al Wajiz)
  4. Al Allamah Al mufassir Al Imam Fakhrur Rozi (mafatihul Ghoib)
  5. Al Allamah Al mufassir Al Imam Jalaluddin Suyuthi (dzurrul mantsur)
  6. Al Allamah Al mufassir Al Imam Khotib Syarbini ( Sirojul Munir)
  7. Al Allamah Al mufassir Al Imam Abu Hayyan (Bahrul muhit, Hujjah tsabit)
  8. Masih banyak lagi ulama Tafsir lain baik salaf maupun kontenporer yang beljm kami sebutkan.

Tokoh Bidang Hadits beserta karangannya:

  1. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam Daruqutni
  2. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam Abu Naim Al Asbahani (Hilyatul Awliya)
  3. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam Al Hakim An Naisaburi ( Mustadzrok)
  4. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam Sa’ad abu sam’ani (Al Ansab)
  5. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam Abu Bakar Al Baihaki (Aat Tashonif)
  6. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam Ibnu Asakir (Tarikh Madinatu Dimsyiq)
  7. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam muhyiddin Syarof AnNawawi (Adzkar, bulughul Marom , Riyadlus sholihin)
  8. Al Allamah Al hafidz Al Muhaddits Al Imam Ibnu Hajar Al Atsqolani (Fathul Bari, Ibanatul Ahkam)
  9. Dan banyak lagi ulama hadits lainnya bahkan Imam Subki berkata dalam Thobaqot Qubro hal. 32 juz 4; “Faham Asya’iroh merupakan faham para pakar hadits sejak dahulu hingga sekarang”.

Tokoh Bidang Fiqh:

Al Imam Al Allamah Ibnu Asakir mengatakan dalam Tabyin Kadzib Muftaro hal. 410:

“Kebanyakan ulama’ di seluruh belahan dunia menganut faham Asy’ari dan imam di kota-kota serta para pakar Fiqh dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i menganut faham ini, serta ridlu dengan keluhuran perjalanannya dalam penyebaran agama Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memuji dengan banyaknya ilmu beliau”. Dari ini bisa kita simpulkan mayoritas ulama Fiqh berfaham Ash’ary dan Maturidi.

Tokoh Bidang Gramatika Bahasa

Mari kita lihat Komentar Al Imam Abu Mudzoffar Al Isfiroyaini dalam kitab Al farqu Bainal Firoq hal. 180-240:

“Sebagiam besar pakar Bahasa dan Gramatika dari kota Bashroh dan Kufah pada era Islam mereka menganut faham ahlussunnah wal jama’ah, begitu juga ahli Hadits dan logika. Begitu pula tidak ada satupun para ulama Gramatika kecuali mereka tidak setuju dengan Ahli Bid’ah dan jauh dari kesesatan mereka seperti Imam Kholil, Yunus bin Habib, Syibawaih, Akhfash, Zujaj, Mubarrid, Abi Hatim, Asmu’i, Azhati, Al Farobi, Ibnu Faris, Al Farobi, Abi Amr syaibani, Abi Zaid, Abi Ubaidah, Abi Ubaid, Qosib bin Salam.

Semua dari mereka memiliki keterkaitan dengan ahlussunnah wal jamaah dan mereka memiliki kontribusi dalam menolak ahli bid’ah dan tak ada satupun yang terjerumus dalam kebid’ahan, dan siapapun yang menganut kebidahan tidak boleh menjadi patokan dalam periwayatan ushul lughoh dan pemindahan gramatika, begitu juga tidak dalam pentakwilan hadits dan periwayatan dan penafsiran Ayat Al-Qur’an”.

Tokoh Bidang Sejarah

Al Imam Abu Mudzoffar menjelaskan dalam Al Farqu Bainal Firoq:

“Ilmu peperangan nabi, Sejarah, Pemilahan antara yang sesat dan yang lurus bukanlah spesifikasi yang dimiliki Ahli Bid’ah, siapapun yang menjadi acuan dari ilmu ini maka dia tidak diragukan bagian dari ahlussunnah wal jamaah”.

Berikut diantara nama nama ulama’ ahli sejarah:

  1. Al muarrikh Al Alim Al Imam Baihaqi (pengarang Dalailun Nubuwwah)
  2. Al muarrikh Al Alim Al Imam Asbihani (juga pengarang Dalail Nubuwwah)
  3. Al muarrikh Al Alim Al Imam Qodli Iyadh ( As Syifa Wa Ahwalul Musthofa)
  4. Al muarrikh Al Alim Al Imam Ibnu Jauzi (Al Wafa Biahwalil Musthafa)
  5. Al muarrikh Al Alim Al Imam Halaby (Siroh halabiyah , insan ‘Uyun)
  6. Al muarrikh Al Alim Al Imam Suhaili ( Raudlotul Anfi)
  7. Al muarrikh Al Alim Al Imam Qostolani ( Mawahibul Ladunniyah)
  8. Al muarrikh Al Alim Al Imam Shofdi (Al Wafi Fi Al Wafiyat).

Oleh: Aniq Muthi’ah S.Pdi, Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Tribakti Kediri, Tarim, Hadhromaut, Yaman, 27 Agustus 2015.

Inilah Orang yang Paling Banyak Mendapatkan Maaf dari Allah Subhanahu wa Ta’ala

$
0
0

بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وآله الطاهرين وصحابته أجمعين

Terkadang manusia itu bisa memaafkan orang lain, tapi tak bisa melupakan akan kesalahan orang itu. Ini maaf belum sampai kepada memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, masih ada emosi di dalam hatinya. Allah ingin hati kita bersih, tak ada marah langsung di dalamnya. Ini yang Allah inginkan, hati yang bersih tak ada marah kepada orang lain.

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengajarkan kepada kita untuk meminta maaf kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebesar apapun manusia berbuat salah kepada kita, tak akan dapat dibandingkan besarnya kesalahan kita kepada Allah.

Nama Allah itu ada Ar-Rahman yang Maha Pengasih, Ar-Rahim yang Maha Penyanyang, Al-‘Afuww yang Maha Memaafkan. Semuanya itu nama-nama Allah yang indah di dalam asmaul husna. Apabila manusia meniru sifat indah yang ada pada nama-nama Allah, maka akan mendapatkan keindahan nama Allah bila kita berusaha untuk meniru sifat nama Allah.

Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Berakhlahlah kamu dengan akhlak Allah“. Bagaimana untuk berakhlak dengan akhlaknya Allah Subhanahu wa Ta’ala? Ambillah sifat keindahanNya untuk kita tiru dan praktekkan dalam kehidupan kita. Sifat keagunganNya kita ambil untuk kita tunjukkan kehinaan kita di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung ️.

Ambil contoh daripada akhlak Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kita berakhlak dengannya. Sebagai contoh, sifat Maaf Allah Ta’ala, ambillah sifat itu untuk memaafkan kepada orang lain. Sifat Sabar Allah Ta’ala, ambillah sifat tersebut untuk mendidik hati kita menjadi seorang yang penyabar. Dan sifat Pemurah Allah Ta’ala, ambillah sifat Pemurah Allah Ta’ala untuk kita didik diri kita menjadi pemurah dalam keadaan apapun dan kepada siapa pun ️juga.

Terkait sifat maaf ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam al-Quran al-Karim untuk kita mengambil sifat maaf, Hudz ‘Afwa:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف:١٩٩

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (Qur’an Surat Al-A’raf:199)

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertanya kepada malaikat Jibril, “Apa maksud Hudz ‘Afwa (ambil maaf)?

Malaikat Jibril menjawab, “Biarkan Saya bertanya kepada yang Maha Mengetahui“.

Lihtalah, Malaikat Jibril ketika hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an, tidak asal main fatwa begitu saja, tetapi ia merujuk terlebih dahulu. Inilah perlunya seseorang itu untuk merujuk kepada orang alim terhadap perkara-perkara yang ia tidak ketahui. Dalam Agama Islam kalau tak faham hukum hakam maka bertanyalah kepada orang faham Agama.

Kita hendaknya memaafkan kepada orang yang berbuat dzalim kepada kita, memberi kepada orang yang tak mau memberi kepada kita, menyambung tali silaturrahim kepada orang yang memutuskan silaturrahim. Memaafkan kepada orang dzalim, jangan biasa memberi setelah kita diminta, biasakan untuk memberi (maaf) sebelum kita diminta. Derajat orang yang memberi sebelum diminta itu lebih besar derajatnya. Allah memberi tanpa diminta dan lebih memberi bila diminta.

Orang yang terbelenggu dengan hawa nafsu sehingga ia berat untuk memaafkan adalah sama halnya dengan orang yang pendendam atau ia jahil (bodoh) akan fadhilah keutamaan memaafkan. Seseorang akan memiliki sifat maaf apabila ia tahu akan fadhilah jika ia memaafkan kepada orang lain. Orang yang paling banyak mendapatkan maaf dari Allah adalah orang yang paling banyak memaafkan orang lain.

(Disarikan dari kajian yang disampaikan oleh Sayyidil Habib Ali Zaenal Abidin bin Abu Bakar al-Hamid, Pengasuh Majelis Ta’lim Darul Murtadza Malaysia)

Rasulullah Menangis dan Pingsan Begitu Mendengar Ada Umatnya Masuk Neraka

$
0
0

Suatu hari malaikat Jibril datang menemui Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dalam keadaan yang berubah mukanya dan ketakutan. Maka Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertanya, “Mengapa aku melihat engkau berubah muka, wahai Jibril?”.

“Wahai Muhammad, aku datang kepadamu pada saat dimana Allah menyuruh supaya dikobarkan api neraka, maka tidak layak bagi orang yang mengetahui bahwa neraka Jahannam itu benar, siksa kubur itu benar, siksa Allah terbesar itu, untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman daripadanya”.

Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam terdiam beberapa saat lalu bertanya, “Wahai Jibril, Shif lii washfan naar, jelaskan kepadaku sifat neraka Jahannam itu sesungguhnya”.

Jibril menjawab, “Baiklah, ketika Allah menjadikan Jahannam maka dinyalakanlah selama seribu tahun hingga berwarna merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun hingga putih, kemudian seribu tahun sehingga hitam, maka ia hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan hak, andaikan terbuka neraka itu sebesar lubang jarum niscaya akan dapat membakar penduduk dunia semuanya karena panasnya. Demi Allah yang mengutus engkau dengan hak, andaikan satu baju ahli neraka itu digantung diantara langit dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi karena panas dan baranya. Demi Allah yang mengutus engkau dengan hak, andaikan satu pergelangan dari rantai yang disebut Allah dalam Al-Quran itu diletakkan di atas bukit niscaya akan cair sampai ke bawah bumi yang ketujuh. Demi Allah yang mengutus engkau dengan hak, andaikan seorang di ujung Barat tersiksa niscaya akan terbakar orang-orang yang di ujung Timur karena sangat panasnya. Neraka Jahannam itu sangat dalam dan perhiasannya adalah besi, minumannya air panas bercampur nanah dan pakaiannya potongan api. Api neraka itu mempunyai tujuh pintu, dimana tiap-tiap pintu ada bagian yang tertentu dari orang laki-laki dan perempuan”.

Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam kembali bertanya, “Apakah pintu-pintunya bagaikan pintu-pintu rumah-rumah kami?”.

Jibril menjawab, “Tidak, tetapi selalu terbuka, setengahnya di bawah dari lainnya, dari pintu ke pintu jaraknya adalah perjalanan tujuh puluh ribu tahun, tiap pintu lebih panas dari yang lain tujuh puluh ribu tahun, tiap pintu lebih panas dari yang lain tujuh puluh kali ganda, maka digiring ke sana musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga bila telah sampai ke pintunya maka disambut oleh malaikat-malaikat Zabaniyah dengan rantai dan belenggu, kemudian rantai itu dimasukkan ke dalam mulut mereka hingga tembus ke pantat, dan diikat tangan kirinya ke lehernya, sedang tangan kanannya dimasukkan dalam dada dan tembus ke bahunya, dan tiap-tiap manusia itu digandeng dengan syaitannya lalu diseret tersungkur mukanya sambil dipukul oleh para malaikat dengan pukulan besi, dan tiap mereka ingin keluar karena sangat risau, tetapi kemudian ditanamkan ke dalamnya.”

Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertanya lagi, “Siapakah penghuni masing-masing pintu itu?”

Jibril menjawab, “Pintu yang terbawah adalah untuk orang-orang munafiq, orang-orang yang kafir setelah diturunkan hidangan mukjizat Nabi Isa ‘Alaihissalam serta keluarga Firaun, sedang namanya Al-Hawiyah. Pintu kedua adalah tempat untuk orang-orang musyrikin, bernama Jahim. Pintu ketiga adalah tempat bagi orang-orang Shobi’in bernama Saqar. Pintu keempat merupakan tempat Iblis laknatullah dan pengikutnya dari kaum Majusi bernama Ladha. Pintu kelima diperuntukan bagi umat Yahudi bernama Huthomah. Pintu keenam menjadi tempat umat Nasrani bernama Sa’ie.”

Malaikat Jibril terus menerangkan penghuni masing-masing pintu neraka hingga pintu neraka yang kelima tempatnya umat Yahudi dan keenam untuk umat Nasrani. Kemudian malaikat Jibril terdiam cukup lama sehingga Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertanya, “Mengapa tidak engkau terangkan penghuni pintu neraka ketujuh?”. Malaikat Jibril hanya terdiam. Lalu Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertanya lagi. Malaikat Jibril pun masih tetap diam. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mendesak lagi hingga akhirnya Jibril berkata,

“Umatmu wahai Muhammad…. Di dalamnya orang-orang yang berdosa besar dari umatmu yang sampai mati belum sempat bertaubat.”

Mendengar jawaban malaikat Jibril, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam langsung jatuh pingsan. Jibril kemudian merangkul Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan meletakkan tubuh baginda Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam di atas pangkuannya. Tidak berapa lama Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sadar dan langsung menangis bersimbah air mata. Sambil terisak-isak Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertanya,

“Wahai Jibril, sungguh besar kerisauanku dan sangat sedihku, apakah memang ada diantara umatku yang akan masuk neraka?”.

“Benar wahai Muhammad, pelaku dosa besar diantara umatmu yang belum bertaubat”, jawab Jibril. Kemudian Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam semakin menangis, dan Jibril pun ikut menangis

Setelah itu Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menghadapkan diri ke kiblat dan bersujud menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam isakan tangis. Sesekali dengan lirih perlahan beliau berdoa membisikkan kata-kata “Ummati ya Rabb… Ummati… Ummati…”. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak mengangkat kepalanya dalam keadaan seperti itu selama tiga hari tiga malam kecuali setiap Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan maka Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bangkit untuk menjadi imam dan setelahnya kembali bersujud.

Pada hari ketiga, sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘Anhu menyadari hal ini. Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘Anhu itu kemudian mendatangi dan mengetuk pintu rumah Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan mengucapkan salam tiga kali, “Assalamu’alaikum ya ahla baiti rahmah. Apakah dapat bertemu dengan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam?”

Namun tidak ada jawaban. Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘Anhu lalu menangis dan melangkah pulang. Di tengah jalan beliau bertemu Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallohu ‘Anhu dan ditanya, “Mengapa engkau menangis wahai Abu Bakar?”.

Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘Anhu kemudian menceritakan keadaan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Maka Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallohu ‘Anhu langsung melangkah ke rumah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan terjadilah hal yang sama. Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallohu ‘Anhu pun pulang dan menangis. Di jalan beliau bertemu dengan Sayyidina Salman Al-Farisi Radhiyallohu ‘Anhu. Sambil terisak-isak Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallohu ‘Anhu bercerita kepada sahabat Salman Al-Farisi Radhiyallohu ‘Anhu hingga akhirnya sahabat Salman Al-Farisi Radhiyallohu ‘Anhu melangkah ke rumah Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra Radhiyallohu ‘Anha dan menceritakan hal itu.

Maka segeralah Sayyidatuna Fatimah Radhiyallohu ‘Anha memakai baju yang panjang dan dengan setengah berlari beliau menuju rumah Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam sambil berkata, “Saya Fatimah, ya Rasulullah”.

Mendengar suara lembut putri tercinta sejuklah dada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pun bangkit dari sujud dan membuka pintu. Ketika melihat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menangislah Sayyidatuna Fatimah Radhiyallohu ‘Anha karena melihat Rasulullah pucat dan sembam mukanya akibat banyak menangis dan sangat sedih. Lalu Sayyidatuna Fatimah Radhiyallohu ‘Anha memeluk Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam seraya menangis, “Wahai Ayahanda, apakah gerangan yang menimpamu? Mengapa engkau begitu sedih seperti ini?”.

Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam kembali menangis dan berkata dengan suara lirih, “Wahai Fatimah belahan jiwaku, bagaimana mungkin aku tidak bersedih, Jibril datang kepadaku menerangkan sifat-sifat neraka Jahannam dan menjelaskan bahwa bagian yang paling atas dari semua tingkatan neraka Jahannam itu adalah untuk umatku yang berbuat dosa-dosa besar, maka itulah yang menyebabkan aku menangis dan bersedih”. Keduanya pun menangis bersimbah air mata.

Lihatlah, betapa cinta dan sayangnya Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam kepada umatnya. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sedemikian sedihnya begitu mendengar malaikat Jibril menerangkan sifat neraka Jahannam dan mengatakan ada umatnya yang akan masuk ke dalamnya, sampai-sampai Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam jatuh pingsan. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga menangis tiada hentinya dan sangat berduka cita hingga pucat dan sembam mukanya dikarenakan memikirkan nasib umatnya kelak yang akan dicampakkan ke dalam api neraka. Tidak cukup di situ, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pun langsung bersujud selama tiga hari tiga malam dan berdoa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan keselamatan umatnya.

Namun, di zaman akhir sekarang ini justru terjadi hal yang berkebalikan, muncul golongan atau pun kelompok yang begitu mudahnya menuduh sesat, bid’ah, dan kafir kepada umat Islam, yakni umat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Itu sama artinya ia berbangga diri memvonis umat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam masuk neraka. Na’udzubillah, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pastinya sangat bersedih. Allah Ya Karim.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita dan keluarga kita sebagai orang-orang yang mencintai Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mencintai keluarga Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mencintai para sahabat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, dan mencintai umat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebagaimana Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mencintai dan menyangi umatnya dan mudah-mudahan kelak kita semua dikumpulkan bersama Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam di surga yang penuh kenikmatan. Shollu ‘Alan Nabiy…

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَصْحَابِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَنْصَارِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَزْوَاجِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَتْبَاعِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى ذُرِّيَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

(Rujukan Kitab Tanbihul Ghafilin bi Ahaditsi Sayyidil Anbiya’ wal Mursalin buah karya Abul Laits as-Samarqandi/ Imamul Huda)

KH Ma’ruf Amin: Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah

$
0
0

Akhir-akhir ini Islam Nusantara jadi wacana publik. Tak hanya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin), tetapi seluruh masyarakat Indonesia juga ikut memperbincangkannya. Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh negeri. Karena itu, bentuk apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi negeri ini.

Sebagai tema Muktamar NU 2015 di Jombang yang digelar beberapa waktu lalu, Islam Nusantara memang baru dideklarasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Mengapa di sini perlu penyifatan al-Nahdliyyah? Jawabnya adalah karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.

Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah, tetapi sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para Mua’sis (pendiri) dan ulama NU. Islam Nusantara adalah cara proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an. Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif, tetapi demokratis, toleran, dan moderat.

Tiga Pilar

Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).

Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika ”al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.

Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jamaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.

Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan Nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan ’urf atau ‘ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.

Penanda Islam Nusantara

Ada lima penanda Islam Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para Nahdliyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir al-fikrah), dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat batas.

Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan.

Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, Nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah). Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di atas. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.

Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.

Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.

Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.

Ijtihad

Hal penting lain yang ingin penulis sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam Nusantara? Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini dipraktikkan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak ada di dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.

Islam Nusantara tidak berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan Nahdliyin. Hasil dari mekanisme metodologi hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran dan Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai Nahdliyin di sini misalnya adalah maãlahah (kebaikan).

Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada di rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: ”idhã wujida nass fathamma masslahah, idhã wujida al-maslahah fathamma shar’ al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah”. Ini uraian singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang lebih luas.

Pada akhir tulisan pendek ini saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.

Oleh: KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI Pusat/ Rais Aam PBNU, dalam artikelnya yang berjudul Khittah Islam Nusantara, yang dimuat di Kompas pada 29 Agustus 2015.


Aktivis Muda NU Salurkan Bantuan Tahap Awal untuk Ponpes Al Muttaqin Waena Papua

$
0
0

Sebagai bagian dari kepedulian sosial, Aktifis Muda Nahdlatul Ulama (NU) Papua melalui Sarkub, dengan programnya Sarkub Peduli, pada Jumat (28/08/2015) telah menyerahkan bantuan kepada Pondok Pesantren Al Mutaqin Jayapura yang terkena musibah kebakaran pada Rabu, (26/08/2015).

Bantuan berupa uang sebesar 10 Juta Rupiah sebagai tahap pertama diserahkan langsung oleh Ketua Sarkub Papua Ustadz Rosyid dan Wakil Ketua Sarkub Papua Ustadz Yustafat yang juga menjabat sebagai Ketua MATAN STAIN Al Fatah Jayapura, kepada Ustadz Lis Suginto selaku Pengurus Pondok Pesantren Al Muttaqin. Selain berupa uang, Sarkub juga menyalurkan berbagai alat perlengkapan Santri, seperti mushaf Al Qur`an dan Pakaian.

Sebelumnya, Aktifis Muda NU Papua melalui Sarkub Peduli juga telah bergerak cepat dengan menyalurkan bantuan dana sebesar 65 Juta Rupiah kepada para korban musibah di Tolikara.

“Ini baru sumbangan tahap pertama yang kita salurkan di Ponpes Al Mutaqin, insya Allah dalam minggu ini Sarkub juga akan menyalurkan sumbangan tahap kedua”, ujar Gus Abdul Wahab selaku Kordinator Sarkub Papua kepada Muslimedianews.

Selain itu, Aktifis Muda NU melalui Sarkub Peduli juga telah melakukan berbagai kegiatan di Provinsi Papua, diantaranya menyalurkan sumbangan ratusan buku agama, busana muslim, perlengkapan shalat, dan pembangunan tempat wudhu di daerah Kampung Malakabu Papua Barat, serta menyelenggarakan beberapa Pengajian di Papua.

Menurut Gus Abdul Wahab, sumber sumbangan yang diterima Sarkub Peduli adalah berasal dari para aktifis NU yang tersebar di berbagai wilayah baik di Indonesia maupun luar negeri. Bahkan sumbangan juga dikirim dari beberapa komunitas seperti Komunitas ODOJ Aswaja, BARA JP Hongkong, dan Iqromul Aitam. Tidak hanya itu, sumbangan juga diterima dari beberapa majelis ta’lim yang dikelola oleh BMI di Hongkong, seperti Majelis Ta’lim Raudhatul Jannah Taipo dan Majelis Ta’lim Huryatul Jannah.

Dalam waktu dekat, Sarkub Papua juga mempunyai program untuk merintis sekolah Madrasah Diniyah Awaliah (MDA) di wilayah Kampung Kelalin Papua Barat.

“Sarkub Papua sejak pembentukannya memang telah berkomitmen untuk istiqomah dalam membantu dakwah dan pendidikan Islam di Papua,” tutur Gus Abdul Wahab. (Tim Sarkub)

Ideologi Mu’tazilah dan Liberal di Tubuh Hizbut Tahrir

$
0
0

Dalam sejarah pemikiran Islam, Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam arena dialog dan perdebatan. Mu’tazilah terkenal sebagai aliran yang mendahulukan akal daripada nash Al-Quran dan Hadits. Di tangan Mu’tazilah teks-teks Al-Quran dan Hadits menjadi berkurang sakralitasnya karena harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar. Namun, pada akhir abad keenam hijriah, Mu’tazilah dibabat habis sampai punah oleh para ulama pengikut madzhab Asy’ari.

Kini, Mu’tazilah sudah tiada, namun ajarannya masih banyak diadopsi oleh firqoh liberal dan Hizbut Tahrir. Seperti halnya mu’tazilah, liberal dan Hizbut Tahrir juga tidak segan-segan melakukan desakralisasi terhadap Al-Quran dan Hadits, sebagaimana pernyataan pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang dimuat dalam kitab-kitabnya sebagai berikut:

«وهذه الأفعال ـ أي أفعال الإنسان ـ لا دخل لها بالقضاء ولا دخل للقضاء بها، لأن الإنسان هو الذي قام بها بإرادته واختياره، وعلى ذلك فإن الأفعال الاختيارية لا تدخل تحت القضاء» اهـ الشخصية الإسلامية الجزء الأول باب القضاء والقدر: ص94 ـ 95

“Segala perbuatan manusia tidak terkait Qadla (kepastian Allah), karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri, maka segala perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam Qadla'”. (asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah juz.1 bab Qadla’ wal Qodar hal.94-95 Cetakan Darul Ummah)

Dalam kitab yang sama juz.1 hal. 98 bab al-Hudaa wad Dholalah, Syaikh Taqiyuddin berkata:

«فتعليق المثوبة أو العقوبة بالهدى والضلال يدل على أن الهداية والضلال هما من فعل الإنسان وليسا من الله» اهـ (الشخصية الإسلامية الجزء الأول : باب الهدى والضلال ص 98)

“Jadi, mengkaitkan pahala sebagai balasan bagi kebaikan, dan siksa sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan adalah murni perbuatan manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah”.

Jika yang dimaksud dengan penegakan Khilafah al-Islamiyyah adalah sebagaimana yang dimaksud oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani diatas, maka kami harus berfikir seribu kali, karena kami di pesantren dididik dan diajari untuk kritis dalam membaca sebuah literatur. Ternyata setelah kami mempelajari dengan teliti bersama rekan-rekan aktivis bahtsul masail PCNU Jember, kami tidak bisa menerima dengan cara taqlid buta terhadap pendapat-pendapat Syaikh Taqiyuddin seperti di atas yang tidak sejalan dengan al-Quran dan Hadits.

Tentu saja pernyataan an-Nabhani di atas mengingkari nash Al-Quran dan Hadits yang secara tegas menyatakan adanya Qadla dan Qadar Allah, bahkan meyakini adanya Qadla dan Qadar merupakan salah satu rukun iman yang sudah menjadi keyakinan kaum muslimin. Allah ta’alaa berfirman:

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya”. (Quran Surat al-Furqon: 2)

Anda tentu tahu dan bisa menilai sendiri bahwa pendapat yang tidak sejalan dengan Al-Quran dan Hadits, seperti tidak percaya kepada Qadla dan Qadar Allah, itu sebenarnya adalah ajaran Liberal yang sejati.

Dialog Aswaja vs HTI

DIALOG AHLUSSUNNAH ASWAJA VS MU’TAZILAH HTI

Pada tanggal 23 Sya’ban 1428 H/ 5 September 2007 M, beberapa pengurus PCNU Pasuruan dan Sayyidil Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf selaku Musytasyar PCNU Pasuruan berdialog dengan salah satu tokoh DPP HTI di Ponpes Sunniyah Salafiyah Kraton, setelah membuat janji terlebih dahulu dengan DPP HTI. Dalam dialog tersebut jelas sekali perbedaan faham antara ahlussunnah wal jamaah dengan HTI, khususnya terkait masalah Qadla dan Qadar, Tokoh HTI ini berterus terang mengakui secara lisan bahwa HTI memang tidak mengikuti rumusan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi sebagaimana dianut ahlussunnah wal jama’ah. Rekaman dialog terdokumentasi dengan baik di Ponpes Sunniyah Salafiyah Pasuruan. Alhasil, Hizbut Tahrir nyata-nyata berseberangan dengan ahlussunnah wal jamaah. Pun demikian ini hanyalah sedikit dari penyimpangan mereka, masih banyak fakta-fakta yang belum terungkap.

Salaamun ‘alaa manittaba’al hudaa.

Oleh: Ustadz Bahrur Roesyid, Aktivis Bahtsul Masail PCNU Jember.

Fenomena Penyebaran Ajaran Islam Parsial dan Dangkal

$
0
0

Di sebuah masjid kampus, saat saya shalat Dzuhur, saya secara tidak sengaja mendengar ada seorang anak muda dengan penampilan khas kelompok pengklaim pemeluk Islam kaffah, yang dipanggil atau memanggil dirinya sebagai ‘Ustadz’ sedang berceramah. Bergamis, berjenggot dan berstempel hitam di dahinya, dengan penuh semangat dan kesan ‘ghiroh’ yang besar ia berkali-kali menyatakan bahwa Islam di Indonesia telah mengalami takhoyyulisasi dengan thoriqoh dan ziarah, degradasi dengan bid’ah, serta kufur dan syirik merajalela dengan tahlil, tawassul dan selametan-selametan. Lalu ia beberapa kali membacakan nomer ayat Al-Qur’an, nomer surat dan juz dan terjemahannya tanpa membacakan ayatnya. Ia juga membaca beberapa terjemahan dan nomer hadits dari Shahih Bukhori dan Muslim, tanpa membaca matan haditsnya. Ia tak segan tuduh dan hujat sana sini dan mengklaim diri paling Islam kaffah.

Saat situasi menuntutnya harus membaca Al-Qur’an, saya mulai tertarik untuk dengan seksama mendengarkannya. ‘Ustadz’ muda ini bacaan Al-Qur’annya luar biasa. Ternyata kualitasnya tidak lebih baik dari tetanggaku, murid TPQ kelas 3 SD. Belum lagi kalau diteliti apakah ayat yang dibaca sesuai dengan nomor ayatnya. Pemaknaan dan penjelasannya juga tidak jelas dengan tafsir dari siapa dan ilmu dari mana. Pemahaman ‘Ustadz’ muda itu tampak sangat parsial dan dangkal. Gatal juga saya untuk tidak melakukan upaya ‘meluruskannya’. Tapi karena dia sudah mengklaim diri sebagai pemeluk Islam paling lurus, maka saya menjadi tidak yakin terhadap efektifitas pelurusan saya. Saya memilih meninggalkan forum yang lama-lama semakin terjadi ‘ngawurisasi’.

Menjalankan dan menyiarkan ajaran Islam ternyata tak cukup sekedar dengan semangat dan ‘ghiroh’ saja. Butuh pengkajian dan pemahaman yang luas, mendalam, utuh (tidak parsial/ sepotong-sepotong) dan kecerdasan terhadap ajaran Islam. Karena ajaran Islam harus dipelajari, dipahami, diyakini sebelum diamalkan dan disebarkan. Ajaran tidak sekedar untuk diperdebatkan, apalagi untuk alat menghujat dan mengkafirkan.

Fenomena penyebaran ajaran Islam parsial, dangkal dan ‘sangat kanan’ (garis keras) oleh para pendakwah yang masih harus banyak belajar lagi ini sungguh sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Sebab, tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk mengarahkannya, maka potensi konflik sosial dengan motif agama dan aliran agama sangat besar. Lihatlah mayoritas negeri-negeri di Timur Tengah yang dilanda perang dan saling bunuh antar umat Islam sendiri.

Ayo belajar Islam lagi. Kalau perlu mondok yang sungguh-sungguh agar lebih proporsional nemahami dan mengamalkan Islam.

Rasulullah Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengajarkan kebaikan, kelembutan, keramahan dan ajakan-ajakan persuasif. Kejayaan atau kehancuran, kebersamaan atau perpecahan, keindahan atau anomali yang kita perjuangkan….?

Oleh: Gus Ahmad Labib Asrori, Pengasuh PP Roudhotut Thullab.

Habib Zein bin Smith: Tawasul dengan Al-Fatihah Adalah Sebaik-baik Wasilah Terkait Penerimaan Do’a

$
0
0

Bolehkah menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran dan dzikir kepada orang yang telah mati?

Ya, itu dibolehkan. Madzhab yang benar dan terpilih menyatakan sampai­nya pahala bacaan dan amal-amal jas­mani lainnya kepada mereka, dan bah­wasanya karena itu pula mereka bisa men­dapatkan pengampunan atas dosa atau peningkatan derajat, cahaya, ke­gembiraan, dan pahala lainnya lantaran karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apa dalilnya?

Dalilnya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda, “Ba­calah surah Yasin kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (3121), Ibnu Majah (1448), dan lainnya, dari hadits Ma’qil bin Yasar Radhiyallohu ‘Anhu.

Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga bersabda, “Ya-Sin adalah jantung Al-Quran. Tidaklah seseorang membacanya dengan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghendaki ne­geri akhirat melainkan Allah mengam­puninya. Dan bacakanlah ia kepada orang-orang mati di antara kalian.” – Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5: 26), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (10914), dan lainnya.

Ulama ahli tahqiq menyatakan, ha­dits ini bersifat umum, mencakup bacaan kepada orang sekarat yang akan mati dan bacaan kepada orang yang sudah mati. Inilah pengertian yang jelas dari hadits di atas.

Hadits ini menjadi dalil bahwa baca­an tersebut sampai kepada orang-orang yang sudah mati dan adanya manfaat padanya sebagaimana yang disepakati para ulama. Perbedaan pendapat hanya berkaitan jika pembaca tidak berdoa setelahnya dengan doa semacam ini, misalnya, “Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan kami kepada Fulan.”

Jika seesorang membaca doa ini se­bagaimana yang diamalkan kaum mus­limin, yang memberikan pahala bacaan mereka kepada orang-orang mati di an­tara mereka, tidak ada perbedaan pen­da­pat di antara ulama terkait sampainya bacaan itu, karena ia dikategorikan seba­gai doa yang disepakati tersampai­nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka ber­doa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami’.” – Qur’an Surat Al-Hasyr (59): 10.

Jika dia tidak berdoa demikian de­ngan bacaannya itu, menurut pendapat yang termasyhur dalam Madzhab Syafi’i, pahalanya tidak sampai. Namun ulama Madzhab Syafi’i generasi akhir menyata­kan, pahala bacaan dan dzikir sampai kepada mayit, seperti mazhab tiga Imam yang lain, dan inilah yang diamalkan umat pada umumnya. “Apa yang menu­rut kaum muslimin baik, itu baik di sisi Allah.” Ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallohu ‘Anhu.

Sayyidil Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, semoga Allah melimpahkan manfaat kepada kita lantarannya, mengatakan, “Di antara yang paling besar keberkah­annya dan paling banyak manfaatnya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan Al-Quran dan meng­hadiahkan pahalanya kepada mereka. Kaum muslimin pun telah mengamalkan ini di berbagai negeri dan masa. Mayo­ritas ulama dan orang-orang shalih, salaf maupun khalaf, pun berpendapat demi­kian.” Silakan simak perkataan Al-Haddad Radhiyallohu ‘Anhu selengkapnya dalam Sabil al-Iddikar.

Dari Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu, ia mengatakan, “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahannya. Segera­kanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya di­bacakan permulaan Al-Baqarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kaki­nya dengan penutup Al-Baqarah.” – Disampaikan secara marfu’ (perkataan sahabat yang dinisbahkan sebagai per­kataan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam) oleh Imam Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (12: 444) dan Imam Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (7: 16) dari hadits Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu. Al-Baihaqi mengatakan, yang benar adalah bahwasanya itu adalah perkataan Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu.

Dalam kitabnya, Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengungkapkan adanya penyampaian pelajaran di atas kubur. Ia berhujjah, se­jumlah ulama salah berwasiat agar di­adakan bacaan pada kubur mereka, di antaranya adalah Ibnu Umar, yang ber­wasiat agar dibacakan surah Al-Baqarah pada kuburnya, dan bahwasanya kaum Anshar mengamalkan jika ada orang yang mati, maka mereka silih berganti ke kuburnya untuk membaca Al-Quran padanya (Ar-Ruh hlm. 10).

Ulama menyatakan, seseorang di­bolehkan menghadiahkan pahala amal­nya kepada orang lain, baik itu berupa bacaan maupun yang lainnya. Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, yang bersabda, “Dibolehkan bagi salah seorang di antara kalian, jika hendak bersedekah dengan sukarela, memberikannya kepada kedua orang­tuanya. Dengan demikian, kedua orang­tuanya mendapatkan pahala sedekah­nya dan ia pun mendapatkan seperti pa­hala kedua orangtuanya tanpa mengu­rangi pahala kedua orangtuanya sedikit pun.” – Disampaikan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (7: 92) dan Abu Syaikh Ibnu Hayyan dalam Thabaqat Al-Muhad­ditsin bi Ashbahan (3: 610).

Di antara hadits-hadits yang diriwa­yat­kan terkait hal ini, meskipun dhaif, telah ditetapkan di antara ulama hadits bahwasanya hadits dhaif dapat diamal­kan terkait fadhail al-a’mal, keutamaan-keutamaan amal.

Apa hukum bacaan Al-Quran kepada mayit dan di atas kubur?

Imam Syafi’i Rahimahullah menyatakan, dianjurkan membaca ayat apapun dari Al-Quran di dekat kubur. Jika mereka mengkhatamkan Al-Quran seluruhnya, itu baik. Ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin dan dalam Al-Adzkar.

Apa dalil yang membolehkannya?

Dalilnya, sebagaimana yang baru saja disampaikan di atas, perkataan Ibnu Umar Radhiyallohu ‘Anhu, “Jika salah seorang di antara kalian mati, janganlah kalian menahan­nya. Segerakanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya dibacakan permulaan Al-Ba­qarah di dekat kepalanya, dan di dekat kedua kakinya dengan penutup Al-Baqarah.”

Hadits marfu’ juga telah disampaikan sebelum ini, “Bacalah Ya-Sin kepada orang-orang yang mati di antara kalian.” Sebagian ulama hadits menafsirkannya pada makna sebenarnya, sebagaimana ini cukup jelas dari lafal hadits. Semen­tara sebagian yang lain menafsirkannya pada makna kiasan. Maksudnya, orang yang sudah mendekati kematiannya. Namun masing-masing makna dimung­kinkan. Dan seandainya kedua makna ini sama-sama diamalkan, itu lebih baik.

Al-Khallal meriwayatkan dari Sya’bi, ia mengatakan: “Jika di antara kaum Anshar ada orang yang mati, mereka silih berganti ke kuburnya untuk mem­baca Al-Quran. Demikian. Kaum muslim­in pun masih tetap membaca Al-Quran kepada orang-orang mati sejak masa kaum Anshar”.

Dari semua penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya bacaan Al-Quran di atas kubur merupakan anjuran syari’at. Allah lebih mengetahui.

Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” – Quran Surat An-Najm (53): 39, dan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Jika manusia mati, terputuslah amalnya”?

Dalam kitab Ar-Ruh, Ibnu Qayyim mengatakan, Al-Quran tidak menafikan seseorang mendapatkan manfaat dari usaha orang lain, tetapi Al-Quran hanya memberitahukan bahwasanya ia tidak memiliki kecuali usahanya. Adapun usaha orang lain, itu adalah milik orang yang melakukannya. Orang lain itu dapat menghendaki memberikannya kepada orang lain atau menghendaki menahan­nya untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, Allah SWT tidak menyatakan “Sesung­guhnya dia tidak boleh menerima man­faat kecuali lantaran apa yang diusaha­kannya sendiri.”

Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Terputuslah amal­nya.” Beliau tidak menyatakan “Peman­faatannya”, tetapi beliau hanya memberi­tahukan ihwal keterputusan amalnya. Ada­pun amal orang lain, itu menjadi hak orang yang melakukannya. Jika ia mem­berikannya kepadanya, pahala amal orang yang melakukannya sampai ke­padanya, bukan pahala amalnya sendiri. Dengan demikian, yang terputus adalah satu hal, dan yang sampai adalah hal lainnya. Demikian yang disampaikannya secara ringkas (Kitab Ar-Ruh halaman 129).

Ulama tafsir menyebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhu, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan se­sungguhnya manusia tidak mendapat­kan kecuali apa yang diusahakannya” – Quran Surat An-Najm (53): 39, telah dihapus hu­kumnya dalam syari’at ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan orang-orang yang ber­iman, beserta anak-cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak-cucu mereka.” – Quran Surat Ath-Thur (52): 21. Allah memasukkan anak-cucu ke dalam surga lantaran kebajikan leluhur mereka. (Lihat Tafsîr Al-Qurthubi (17: 114)).

Ikrimah mengatakan, itu terjadi pada kaum Musa ‘Alaihis Salam. Adapun umat ini menda­patkan apa yang mereka usahakan dan mendapatkan pula apa yang diusahakan oleh yang lain. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa seorang wa­nita mengangkat bayinya dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anak ini men­dapatkan pahala haji?”

Beliau menjawab, “Benar, dan bagi­mu pahala.” – Hadits ini disampaikan oleh Imam Muslim (1336) dan lainnya, dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhu.

Yang lainnya bertanya kepada Nabi SAW, “Ibuku terluputkan dirinya (mati tanpa wasiat), apakah ia mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas nama dia?”

Beliau menjawab, “Benar.” – Hadits ini disampaikan oleh Imam Al-Bukhari (1322) dan Muslim (1004) dari hadits Aisyah Radhiyallohu ‘Anha.

Perkataan penanya, “terluputkan”, kata ini diucapkan terkait orang yang mati secara tiba-tiba, dan diucapkan pula terkait orang yang tewas oleh jin dan gangguan. “Dirinya,” menurut Imam Na­wawi, “kami menulisnya dengan harakat fathah dan dhammah nafsaha dan naf­suha, dengan nashab dan rafa’. Bacaan rafa’ dengan maksud sebagai obyek yang tidak disebutkan subyeknya. Nashab dengan maksud sebagai obyek kedua.” – Syarh Muslim (7: 89-90).

Demikian, Allah lebih mengetahui.

Apa hukum bacaan Al-Fatihah dan bacaan kepada mayit serta tawasul dengannya untuk penerimaan doa?

Ketahuilah, di antara yang terbesar keberkahannya dan terbanyak manfaat­nya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan Al-Quran Al-‘Adzim dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka. Mayoritas ulama dan orang-orang shalih, baik salaf maupun khalaf, berpendapat demikian, dan kaum muslimin di berbagai masa dan negeri pun mengamalkannya. Dalam hadis marfu’ yang telah disampaikan terdahulu dinyatakan, “Jantung Al-Quran adalah Ya-Sin. Tidaklah seseorang membaca­nya dengan niat kepada Allah dan meng­hendaki negeri akhirat melainkan ia di­ampuni. Hendaknya kalian membaca­nya kepada orang-orang mati di antara kalian.”

Diriwayatkan dalam hadits dhaif, “Siapa yang masuk pemakaman dan mem­baca ‘Katakanlah: Dialah Allah Yang Esa’ sebelas kali, kemudian mem­berikan pahalanya kepada orang-orang mati, ia diberi pahala sesuai dengan jum­lah orang-orang yang mati.” Diriwayat­kan oleh Imam Ar-Rafi’i dalam kitabnya At-Tarikh dan Ad-Daraquthni dalam kitab­nya As-Sunan.

Adapun tawasul dengan surah Al-Fatihah terkait penerimaan doa, ini se­baik-baik wasilah. Pada hakikatnya, itu hanyalah tawasul dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits qudsi dikatakan, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Disampaikan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahîh Muslim (598) dari hadits Abu Hurairah Radhiyallohu ‘Anhu.

Oleh: Sayyidil Habib Zein bin Smith Ba’alwi Madinah, Ketua Umum Rabithah Alawiyah/ Mustasyar PBNU dalam tanya jawab yang dimuat Majalah Al Kisah/ Sufi Road.

Video: Tiba di Makkah, Jamaah Haji Indonesia Disambut Shalawat Oleh Munsyid Hijazi

$
0
0

Alhamdulillah, pada Ahad 30 Agustus 2015, Jamaah Haji Indonesia kloter 1 JKS 01 telah tiba di Makkah Al-Mukarramah. Ada satu pemandangan yang sangat unik dan menarik yang ditemui sewaktu penyambutan jamaah haji ini. Suara gema shalawat Nabi tiba-tiba terdengar dengan indahnya.

Shollalloh ‘Ala Muhammad
Shollalloh ‘Alaih wa Sallam
Shollalloh ‘Ala Muhammad
Shollalloh ‘Alaih wa Sallam

Allah, Ya Nabi Salam ‘Alaika
Ya Rasul Salam ‘Alaika
Ya Nabi Salam ‘Alaika
Sholawatulloh ‘Alaika

Begitulah kira-kira bunyi lantunan merdu shalawat Nabi yang mengiringi kedatangan para jamaah haji Indonesia yang baru saja sampai di Makkah perjalanan dari Madinah Al-Munawwarah. Mereka disambut dengan lantunan Shalawat Nabi dan Maulid Burdah yang didendangkan oleh Munsyid Hijazi di Hotel Al Tayseer Makkah Al-Mukarramah.

Salah satu jamaah, Afifudin, selaku ketua rombongan 1 kloter 1 JKS mengaku tidak bisa menyembunyikan rasa harunya saat tiba di tanah suci Makkah. Suaranya bergetar dan hatinya menciut tatkala mendengar shalawat Nabi bergema menyambut dirinya.

“Saya terharu disambut shalawat. Di sana (Madinah-red) juga shalawat,” tutur Afifudin dengan mata merah terharu dan tampak berkaca-kaca, (30/8/2015).

Tak hanya alunan shalawat Nabi, penduduk Arab Hijazi juga membagi-bagikan sekuntum bunga mawar dan seteguk air zam-zam serta melakukan atraksi tarian menggunakan alat semacam kayu guna menyambut para tamu-tamu Allah tersebut.

Lantunan Shalawat Sambut Kedatangan Jamaah Haji Indonesia

Hijaz merupakan tanah yang masuk wilayah Makkah dan Madinah yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Haromain pada masa kekuasaan Islam Turki Utsmani. Sedangkan Hijazi adalah sebutan untuk penduduk asli Hijaz yang sampai saat ini masih memegah teguh ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (aswaja) seperti amaliah Shalawat dan Maulid. Kini, tanah Hijaz berganti nama dengan Kerajaan Saudi Arabia setelah dikuasai dan direbut oleh Dinasti Saud yang menganut faham Salafi Wahabi.

VIDEO LANTUNAN SHALAWAT SAMBUT KEDATANGAN JAMAAH HAJI INDONESIA

 

 

 

Courtesy video by Liputan6 dan Tuann Muda, Image by DetikCom.

Viewing all 285 articles
Browse latest View live